Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Selasa, 15 Maret 2016

Cot Gle


Cerpen Firdaus Yusuf
Ilustrasi: Tauris Mustafa


RUMAH PANGGUNG kami yang berjarak 500 meter dari sebuah benteng di tepi pantai bergetar. Peralatan masak ibu di dapur berserakan di lantai tanah. Belanga-belanga jerami pecah. Kopiah ayah di atas meja rotan berpindah-pindah. Ibu membungkus barang-barang bawaan seadaanya dengan kain sarung. “Bergegaslah. Sebentar lagi kafir-kafir yang jumlahnya lebih banyak daripada ikan teri di pasar akan menembus benteng,” kata Ayah pada Ibu.

“Ceudah…,” Ayah memanggilku saat aku, Ibu dan adikku, sudah berbalik badan. Lalu dia mengambil rencong yang terselip di pinggangnya. “Ini!”

Di ambang pintu, Ibu yang menggendong adik perempuanku, menatap Ayah dengan tatapan kosong. Kulihat mata Ayah dan Ibu berkaca-kaca. Adikku menangis terus sedari tadi. Tak ada keharuan yang berlebihan di pagi buta itu. Itu hari terakhir aku bertemu Ayah.

Aku bersama adik perempuanku yang masih berumur tiga tahun dibawa Ibu keluar dari kampung bersama kaum perempuan lainnya. Perang tak kunjung reda meskipun perang besar dan terbuka telah usai. Berbulan-bulan kami berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Suatu pagi, aku, Ibu, dan adikku, serta beberapa tetanggaku memberanikan diri pergi ke bandar karena tak ada lagi makanan yang tersisa. Tapi, kami tak mendapatkan apa-apa di sana. Kedai-kedai tutup. Yang ada hanya puing-puing reruntuhan bangunan di sekitar Masjid Raya. Kulihat sudut-sudut bandar dihuni oleh serdadu Belanda. Bandar penuh dengan bangunan dari kayu yang tak terlalu besar, yang dilingkari dengan kawat-kawat berduri setinggi pria dewasa. Serdadu-serdadu Belanda itu, ada yang putih seperti cicak; dan ada juga yang hitam, mirip lutung.


Di bandar, serdadu-serdadu Belanda tak lagi beringas usai perang besar tempo hari. Kami pulang untuk melihat-lihat kampung. Betapa luruhnya hati kami tatkala mendapati kampung telah musnah. Abu bekas rumah-rumah dibakar beterbangan ditiup angin laut.

Kudengar dari percakapan Ibu dengan orang-orang dewasa lainnya: wabah penyakit kulit menyebar di bandar. Konon, kata mereka, Belanda kualat karena membakar Mesjid Raya. Dan…, saat itu, sultan juga telah mangkat.

“Penyakit itu menyebar begitu cepat,” kata Ibu, ketika mengobrol dengan tetanggaku, Mak Téh,  yang juga ada dalam rombongan kami.  Dalam masa-masa itu, manakala hujan turun dengan deras sepanjang hari, banjir besar juga menyeruak dari Krueng Aceh.
***
Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di satu padang yang tak terlalu besar di tengah hutan Tuhan yang dikelilingi rawa-rawa. Ada sungai dan ada berbagai macam pohon di sana.

 “Sekarang,” ujar Mak Téh, “kumpulkan uang dan perhiasan yang ada pada kalian.”

Tak semua orang mulanya sudi menyerahkan benda berharga mereka itu. Namun berkali-kali Mak Téh meyakinkan perempuan-perempuan yang hampir semuanya membawa anak-anak itu. “Kita tak punya pilihan lain. Kalian mau anak-anak kalian mati kelaparan?”

Mak Téh akhirnya mengemas perhiasan mereka dengan kain sarung. Dia dan lima perempuan yang terbilang jauh lebih muda darinya, turun ke bawah, ke kampung yang paling dekat.

Aku dengar sekilas-pintas dari orang-orang dewasa, mereka yang turun ke kampung, berjalan kaki seharian dan mengikuti jalan setapak yang telah kami buka ketika kami menjelajahi hutan itu untuk menemukan tempat kami menetap ini.  Kedai-kedai tertutup mulanya. Tapi menurut penuturan beberapa warga di kampung tersebut, kedai milik orang Cina dibuka jika ada orang yang datang membeli. Tapi barang-barang di situ mahal. Pedagang-pedagang itu ambil kesempatan menaikkan harga saat situasi seperti ini.

Mak Téh membeli dua karung ubi dan meminta batang-batang ubi pada penduduk di kampung yang mereka sambangi itu. Dia membeli induk ayam dan anak-anak ayam serta berpuluh-puluh butir telur ayam.

***

Bertahun-tahun kemudian, semua tampak berbeda di Cot Gle. Ya, 53 perempuan yang sebelumnya menjejakkan kaki di padang yang dikelilingi rawa-rawa itu, menamai tempat tersebut Kampung Cot Gle. Ada kebun ubi, ada kandang-kandang ayam yang terbuat dari batang bambu; ada juga petak-petak tanah yang ditumbuhi tomat, bawang, dan cabai. Gubuk-gubuk dari batang bambu dan dinding jerami, serta atap daun rumbia juga telah berdiri di sana. Sebuah balai yang lumayan besar kami jadikan tempat mengaji dan sembahyang. Di belakangnya, bunyi air sungai mengalir terdengar bersama derap langkah sejumlah orang yang mengangkut air.

 Mak Téh dan yang lain jarang turun ke kampung. Jika sebelumnya serdadu Belanda masuk ke kampung-kampung, tapi akhir-akhir ini, mereka mulai masuk ke hutan. Setidaknya begitulah yang aku tahu.

***

Suatu pagi yang tak biasa, ketika aku membantu Ibu mencuci pakaian di sungai, kudengar suara ribut-ribut di atas. Derap langkah manusia terdengar bersama bunyi kecipak air di rawa-rawa. Burung-burung beterbangan dari dahan-dahan pohon.

“Ambil parang. Sembunyi. Sembunyi.” Kudengar kalimat itu samar-samar.

Ibu dengan cekatan menggendong adikku. “Ceudah, kita naik ke atas,” kata Ibu padaku. 


Kami menapaki batu-batu yang lumayan besar untuk melihat apa yang sedang terjadi di atas sana. 

“Itu seperti kampung Letnan!” Terdengar suara seseorang berteriak. “Itu kampung mujahidin!”

Adikku menangis. Ibu mencoba menenangkannya tapi hal itu sia-sia. 


“Ibu, aku takut.”

Berdirilah seorang serdadu Belanda berkulit hitam di hadapan kami. Dengan wajah setengah kaget dia menatap kami. Matanya mendelik. Ibu, yang juga menggendong adikku dalam pangkuannya, menepis moncong senjata si serdadu tersebut, yang di arahkan padaku. “Lari Ceudah,” kata Ibu, berteriak. “Lari!”

Satu letusan membahana. Ibu tersungkur ke tanah. Dengan cepat si serdadu itu lalu mengayun kelewangnya ke leher adikku. Aku berlari ke arah rumpun bambu. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat si serdadu itu, memasukkan mesiu dan peluru ke dalam senjatanya. Ketika dia menarik pelatuk, kakiku tersandung sebuah batang pohon. Aku terjatuh.

Terdengar serdadu-serdadu Belanda lainnya bersorak-sorai. “Menghadapi perempuan dan anak-anak saja kau tak becus,” seru seorang serdadu, yang ada dalam kerumunan di sampingku. “Mau lari ke mana anak setan?”

Si serdadu itu mendekatiku dengan langkah yang pelan dan gerak tubuh yang dibuat-buat. Napasku terengah-engah. Kulihat ke belakang, tak jauh dari tempat aku terduduk di tanah, di balik rumpun bambu, Mak Téh menggenggam ranting pepohonan sebesar jempol tangan. Dia mengisyaratkan padaku untuk diam. Sementara, dari sebelah kiri aku terduduk, beberapa serdadu Belanda, yang sesekali menatapku, sepertinya mencium sesuatu yang janggal. Tapi mereka hanya menengok ke bawah-ke sungai. Dan juga ke dalam rumah-rumah. Apa mereka tak bisa melihat Mak Téh dan yang lainnya? Tanyaku sendiri.

Aku lihat Mak Téh menebas ranting yang dia genggam dengan sebilah parang. Kepala si serdadu Belanda yang ada di depanku, yang telah menarik pelatuk dan siap menembak, copot dari lehernya bersamaan dengan jatuhnya ranting yang ditebas Mak Téh tadi ke tanah.

Sontak saja, serdadu-serdadu Belanda lainnya, yang tadinya bersorak-sorai, terdiam seketika. Mereka menuju ke arahku. 


“Jangan tembak anak itu,” kata seorang lelaki tinggi dan berkulit putih, yang dipanggil Letnan. “Geledah tempat ini! Bakar!”

Serdadu-serdadu Belanda akhirnya berjalan ke deretan rumpun bambu di belakangku. Mak Téh dan yang lainnya tak berbuat apa-apa mulanya. Tapi ketika serdadu-serdadu Belanda itu berada dari jarak beberapa langkah dari rumpun bambu tempat Mak Téh dan lainnya berdiri, dengan tangkas Mak Téh dan yang lainnya menebas serdadu-serdadu Belanda diiringi dengan teriakan Allahu Akbar.

Tapi, itu tak berlangsung lama. Senjata pendek serdadu-serdadu itu berdentuman dan kelewang mereka melayang dengan cepat ke segala arah. Termasuk ke leher anak-anak. Ketika tak ada lagi perlawanan, lelaki yang dipanggil letnan itu mendekatiku.  Dia mencoba merangkulku, tapi aku berusaha untuk menghindar. Aku memakinya sambil beringsut di tanah. “Tenang anak manis. Kau tak perlu takut.”

Dia melangkah ke arahku sementara aku terus beringsut ke belakang hingga tubuhku tertahan tiang bambu sebuah gubuk. Jantungku berdegup kencang. “Siapa namamu?” Dia menjulurkan tangan kanannya. Lalu, dia jongkok tepat di hadapanku.

Kulihat bola matanya yang biru menatapku lekat-lekat. Dalam masa saling tatap-menatap dengannya, matanya memandang tajam ke pinggangku. Tanpa pikir panjang, secepat kilat aku tarik rencong yang tersampir di pinggangku dari sarung dan kuhujamkan senjata pemberian ayahku itu ke lehernya. Tak lama kemudian terdengar letupan senjata bertubi-tubi. []

(Cerita ini dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu 25 Mei 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar