Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Senin, 30 Juni 2014

Si Insinyur masuk Desa



Oleh Firdaus Yusuf

                                                                                         

Berbekal “Insinyur masuk Desa”-nya, Farida mengumpulkan bukti serta mencatat pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Desa Cot Keng. Temuannya mengegerkan khalayak ramai. Satu per satu kasus pelanggaran HAM lainnya yang sebelumnya tertutupi “tumpah” seperti hujan. 


PEREMPUAN itu mengenakan daster hitam dan jilbab hitam. Dia adalah Farida Hariyani, 48 tahun, seorang aktivis perempuan dan hak asasi manusia yang saya temui pada Minggu, 7 Juni 2014 lalu. Kami bicara panjang lebar di ruang tamu rumahnya di Kompleks Perumnas Rawa, Kecamatan Pidie, Pidie.


“Saya melihat kekerasan terhadap masyarakat yang dilakukan oleh negara. Manusia kan punya hak hidup. Tiap pulang kampung, selalu ada bunyi senjata menyalak. Orang-orang pagi-pagi berbisik-bisik: semalam ada dipukul orang? Ada di tembak orang?” kata dia, mengenang kejadian-kejadian di kampung halamannya pada awal-awal 1990-an,  “saya tergugah. Rasa-rasanya ayam mati saja tidak begitu. Tiap hari ada saja kejadian. Jangankan mau bantu, bicara saja harus bisik-bisik, ada orang lewat saja mereka (masyarakat)  ketakutan. Kadang-kadang saya dimarah Ayah karena saya suka tanya-tanya di desa mana ditembak orang?”


Farida lahir di Ulee Glee, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya pada 15 Januari 1966. 


Sebelum pemekaran pada tahun 2007, Pidie Jaya merupakan bagian dari Kabupaten Pidie.


Kelas satu hingga kelas lima SD, dia lalui di SD di Meureudu. Dan kelas enam dia lanjutkan di Ulee Glee. SMP juga dia tamatkan di SMP Ulee Glee. Dia kemudian melanjutkan sekolahnya di SMA Mugayatsyah Banda Aceh.  Dia lulus SMA pada tahun 1985.


Pada tahun yang sama, Farida meneruskan studinya di Universitas Iskandar Muda Banda Aceh. Sejak saat itu dia tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian jurusan Budidaya Pertanahan di universitas tersebut. Lalu, menjelang kelulusannya, pada awal 1990, Farida sering pulang ke kampung halamannya di Pulo Ulee Glee karena harus mengerjakan praktik lapangan. Dia juga sedang menyusun skripsi saat itu. Dan ketika itulah dia melihat segala bentuk kesewenang-wenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap masyarakat.

Minggu, 01 Juni 2014

Mereka Bertanya: Ada Apa dengan Aceh ?


Oleh Firdaus Yusuf

“Mengapa Aceh tak merdeka dan memilih damai?” tanyanya berulang kali, dengan logat melayu yang kental, “mengapa saat referendum, puluhan ribu orang buat aksi, tapi Aceh gagal merdeka. Selepas tu, mengapa tak ada lagi aksi sebesar tu?”

Senin malam, 7 April 2014 lalu, sembilan warga Patani, Thailand bagian selatan, berusia antara 20 hingga 30-an, duduk melingkari meja di aula rapat kantor Acehnese Civil Society Task Force (ACSTF), di Jalan Merak nomor 46 D, Gampong Neusu Aceh, Banda Aceh. Sedangkan dua lainnya berasal dari Bangkok, ibu kota Thailand. Anak-beranak  itu: Chalida Tajaroensuk dan Tajaroensuk.

Mereka yang berasal dari Patani adalah Asmah, Badareeyah, Marudeen Kahong, Rohanee, Ibroeng Damiro, Tuwaedaniya Tuwaemaengae, Isama-ae Salea, Eharam, dan Arfan Wattana. Mereka berbicara dalam tiga bahasa sekaligus: bahasa nasional Thailand, Melayu, dan Inggris. 

Secretary General (Sec-Gen) ACSTF, Juanda Djamal, berbagi cerita dan pengalamannya selama konflik bersenjata di Aceh; dan ia juga menceritakan pengalamannya dalam kegiatan-kegiatan penguatan masyarakat sipil di Aceh pasca-tsunami dan MoU Helsinki. Pertemuan malam itu sekaligus membincangkan apa yang akan dilakukan tamu-tamu dari Thailand itu selama di Aceh. 

***
Seorang pria yang mengenakan kaus hitam tampak begitu antusias bertanya-tanya tentang politik Aceh. Dia yang membikin ruangan itu tak pernah diam. Pria itu bernama Tuwaedaniya Tuwaemaengae, 34 tahun. Bertubi-tubi pertanyaan terlontar dari mulutnya. Nada bicaranya tak pernah terdengar rendah. Dia yang menjadi penerjemah dari bahasa Melayu (atau Indonesia) ke bahasa Thai. Walaupun kadang-kadang Chalida Tajaroensuk dan Tajaroensuk menimpali dengan bahasa Inggris saat ada satu-dua hal yang menurut mereka masih kurang jelas—bertanya langsung pada Juanda.