Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Senin, 08 September 2014

Bukan Pasar Malam



 Oleh Firdaus Yusuf

DIBAWAH sinar lampu, di sudut di Taman Sari Banda Aceh, Iswadi Basri dan teman-temannya sedang menggambar. Lukisan itu, kata dia, bertema satu ekspresi dalam keberagaman.

“Siapa saja yang mau coba, silakan,” kata pelukis kelahiran Padang Tiji itu. “Nanti kami ajarkan bagi yang belum tahu caranya.”

Taman Sari tampak semarak dengan berbagai pertunjukan malam itu (29/09). Tarian dan lagu silih berganti dipertunjukan dan dinyanyikan di atas panggung. Stan-stan yang dibubuhi atap daun rumbia milik sejumlah komunitas seni—sastra, musik, teater, seni rupa, film, dan sejumlah komunitas kreatif lainnya—di Banda Aceh, melingkari taman tersebut. Dua panggung didirikan: panggung utama di malam hari; dan panggung kecil untuk pertunjukan di sore hari.

Kuah Beulangong dan Kenduri Tamat Daruh


Oleh Firdaus Yusuf


ORANG-orang lalu lalang dengan membawa panci atau wajan. Antrian sepanjang 12 meter di bawah terik matahari tak putus-putus hingga pukul 18.00 WIB. Mereka memberikan kupon berwarna hijau atau kupon bewarna putih kepada seorang pria yang ada di hadapan mereka. Lalu panci atau wajan yang mereka bawa diisi dengan kuah beulangong (kuah belanga). Dan kupon pun disobek oleh si pria tersebut.

Begitulah keramaian Kenduri Tamat Daruh atau Kenduri Nuzulul Quran yang diadakan warga Gampong Neusu Aceh di halaman kantor keuchik (kantor kepala desa) di Jalan Bakti nomor 13, Gampong (desa) Neusu Aceh, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Kamis pekan lalu.