Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Kamis, 24 Maret 2016

BIRONG



Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa


DI SALAH satu stadiun sepakbola di Kota Sigli, pada suatu sore yang mendung, Birong, seorang polisi berwajah bengis yang beberapa tahun ke depan akan pensiun, mencoba mendiamkan caci-maki yang dialamatkan para penonton pada seorang pemain sepakbola berkaki pendek dan berambut cepak dari kesebelasan tuan rumah.

Kesebelasan mereka sendiri. Pemain sayap kiri itu sering dimaki penonton karena selalu salah memberi umpan.

“Ayam sayur sialan,” teriak seorang penonton. “Tempatmu bukan di sini, tapi di panti pijat!”

Birong mengira kemasyuran namanya, yang beberapa tahun silam mampu membuat pelayan di kedai minum yang disinggahinya enggan menerima uang usai ia minum kopi di sana, bisa menghentikan penonton mengucapkan kata-kata yang tak pantas itu.

Tapi ternyata, nama besarnya tidak berarti apapun di hadapan penonton yang marah dan kecewa. Ia berdiri berkacak pinggang dan menghadap ke arah tribun penonton. Ketika melihat wajah Birong, seorang pedagang ikan di Pasar Sigli bangkit dari tempat duduknya, menunjuk ke arah Birong berdiri seraya berseru, “Anjing hitam!” Mendengar kata-kata itu, Birong naik pitam.

Kamis, 17 Maret 2016

Hikayat Emping Melinjo



 Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa
DI SEBERANG sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan. Jika kau masuk ke kampung itu, kau akan menjejakkan kaki di atas jalanan berbatu dan berlubang nan sunyi tempat lutung-lutung duduk, berjalan, atau berlari tanpa ada seorang pun yang mengganggu. 

Bertahun-tahun silam, sebelum ditutupi tanaman liar setinggi pusar orang dewasa, jalanan tersebut sering dilalui sepeda motor para pengepul emping melinjo. Apabila kau berjalan menyusuri lebih jauh ke dalamnya, kau akan bertemu dengan seorang perempuan dengan bola mata yang seakan tampak putih, yang tengah menunggu roh suami dan anak-anaknya pulang ke rumah.

Dalam penantiannya itu, saban hari, dia menyibukkan diri dengan menghempaskan palu besi yang kepalanya dibalut plastik putih, ke atas melinjo-melinjo yang sebelumnya telah dikupas kulitnya dan telah digongseng dengan kerikil. Gerakannya bagai hakim yang mengetuk palu sidang. Hanya saja perempuan itu mengayun benda itu berkali-kali, di atas sebuah alas dari kayu sawo selebar lubang sumur. Dia tak pernah peduli pada peluh yang membasahi lehernya.

Perempuan itu Hasanah, ibu dua anak. Para penggembala sapi menghormatinya, karena dia tak bisa dibunuh waktu; tak dapatdihancurkan hujan dan kemarau dalam penantiannya menunggu suami dan anak-anaknya pulang.

Berdasarkan penuturan para penggembala sapi aku menulis kembali cerita ini. Di depan tempat Hasanah duduk memipihkan buah melinjo, tampak sebuah pagar bambu berdiri goyah. Pagar bambu itu melingkari rumahnya yang berdiri di tengah-tengah pepohonan melinjo. Rumah itu sekilas terlihat tak berpenghuni, karena dinding-dindingnya ditumbuhi semak-belukar yang merambat liar. Di sisi kiri rumah itu, sebuah talang air mencuat, dan lumut menggerogoti seluruh bagiannya. Mata Hasanah tertuju ke arah talang air di rumahnya tersebut. Lubang kecil yang menganga itu membuatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam masa-masa menatap talang air itulah, ia kembali terkenang kepulangan kedua putranya pada suatu sore di bulan Desember, manakala hujan sering turun dengan deras dan membuat halaman rumahnya becek.

Selasa, 15 Maret 2016

Cot Gle


Cerpen Firdaus Yusuf
Ilustrasi: Tauris Mustafa


RUMAH PANGGUNG kami yang berjarak 500 meter dari sebuah benteng di tepi pantai bergetar. Peralatan masak ibu di dapur berserakan di lantai tanah. Belanga-belanga jerami pecah. Kopiah ayah di atas meja rotan berpindah-pindah. Ibu membungkus barang-barang bawaan seadaanya dengan kain sarung. “Bergegaslah. Sebentar lagi kafir-kafir yang jumlahnya lebih banyak daripada ikan teri di pasar akan menembus benteng,” kata Ayah pada Ibu.

“Ceudah…,” Ayah memanggilku saat aku, Ibu dan adikku, sudah berbalik badan. Lalu dia mengambil rencong yang terselip di pinggangnya. “Ini!”

Di ambang pintu, Ibu yang menggendong adik perempuanku, menatap Ayah dengan tatapan kosong. Kulihat mata Ayah dan Ibu berkaca-kaca. Adikku menangis terus sedari tadi. Tak ada keharuan yang berlebihan di pagi buta itu. Itu hari terakhir aku bertemu Ayah.

Aku bersama adik perempuanku yang masih berumur tiga tahun dibawa Ibu keluar dari kampung bersama kaum perempuan lainnya. Perang tak kunjung reda meskipun perang besar dan terbuka telah usai. Berbulan-bulan kami berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Suatu pagi, aku, Ibu, dan adikku, serta beberapa tetanggaku memberanikan diri pergi ke bandar karena tak ada lagi makanan yang tersisa. Tapi, kami tak mendapatkan apa-apa di sana. Kedai-kedai tutup. Yang ada hanya puing-puing reruntuhan bangunan di sekitar Masjid Raya. Kulihat sudut-sudut bandar dihuni oleh serdadu Belanda. Bandar penuh dengan bangunan dari kayu yang tak terlalu besar, yang dilingkari dengan kawat-kawat berduri setinggi pria dewasa. Serdadu-serdadu Belanda itu, ada yang putih seperti cicak; dan ada juga yang hitam, mirip lutung.