Cerpen Firdaus Yusuf
Ilustrasi: Tauris Mustafa |
DI SALAH satu stadiun sepakbola di Kota Sigli, pada suatu sore yang mendung, Birong, seorang polisi berwajah bengis yang beberapa tahun ke depan akan pensiun, mencoba mendiamkan caci-maki yang dialamatkan para penonton pada seorang pemain sepakbola berkaki pendek dan berambut cepak dari kesebelasan tuan rumah.
Kesebelasan mereka sendiri. Pemain sayap kiri itu sering dimaki penonton karena selalu salah memberi umpan.
“Ayam sayur sialan,” teriak seorang penonton. “Tempatmu bukan di sini, tapi di panti pijat!”
Birong mengira kemasyuran namanya, yang beberapa tahun silam mampu membuat pelayan di kedai minum yang disinggahinya enggan menerima uang usai ia minum kopi di sana, bisa menghentikan penonton mengucapkan kata-kata yang tak pantas itu.
Tapi ternyata, nama besarnya tidak berarti apapun di hadapan penonton yang marah dan kecewa. Ia berdiri berkacak pinggang dan menghadap ke arah tribun penonton. Ketika melihat wajah Birong, seorang pedagang ikan di Pasar Sigli bangkit dari tempat duduknya, menunjuk ke arah Birong berdiri seraya berseru, “Anjing hitam!” Mendengar kata-kata itu, Birong naik pitam.