Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Rabu, 06 Mei 2015

Chow Kit dan Buku Saku Anwar Ibrahim




 oleh Firdaus Yusuf

Ini adalah sepotong kisah tentang orang-orang Aceh di Chow Kit; dan orang-orang dari  negara-negara ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia kala berlangsungnya ASEAN Civil Society Conference/ASEAN Peoples’ Forum 2015. Juga tentang “buku-buku saku Anwar Ibrahim”.



CHOW KIT, MALAYSIA SENIN, 20 APRIL 2015. Sebuah  bendera Malaysia yang tampak pudar dan usang terpampang di kedai itu. Jika kita masuk ke dalam kedai seluas tiga kali lapangan tenis itu, kita akan menemukan beberapa rak nasi  yang terbuat dari  stainless steel–penuh dengan berbagai lauk—di sana. Jika melangkah sedikit ke depan, melewati pintu masuk, tepat di sebelah kiri, kita akan menemukan rak mie Aceh di dekat dapur kopi. 

Kedai yang beralamat di kawasan Chow Kit, Malaysia itu, bernama Aceh Meutuah. 

Orang-orang yang duduk di kursi-kursi plastik putih di dalam kedai tersebut rata-rata bertutur dalam bahasa Aceh. Saya menghampiri salah satu meja tempat di mana batu-batu cincin digelar. 

“Batu dari Aceh,” ujar Marzuki, 42 tahun, ketika saya menatap batu-batu cincin tersebut. 

Batu-batu cincin miliknya itu, kata dia, hanya dibeli oleh orang-orang Aceh yang tinggal di Malaysia. “Tak laku dijual untuk orang Melayu,” ujarnya, menjelaskan. 


Kepada saya Marzuki mengatakan, ia menjual batu cincin yang telah diikatdengan gagang seharga 100 RM.
Marzuki, warga asal Peureulak Aceh Timur, sebenarnya pergi ke Chow Kit untuk berbelanja pakaian: jilbab dan celana jins pria. Nantinya barang-barang itu ia jual di kampungnya. Sedangkan membawa dan menjual batu cincin Aceh di Malaysia hanya selingan saja, ungkapnya. 

Dalam beberapa bulan terakhir, nyaris di seluruh pelosok Aceh, baik itu di pinggir-pinggir jalan, kedai kopi, maupun di masjid atau meunasah (surau), orang-orang bicara soal jenis-jenis batu cincin.

Marzuki mendaku, ia ke Malaysia dengan menempuh jalur laut, menggunakan Kapal Feri. Waktu tempuh dari Pelabuhan Tanjung Balai Sumatera Utara ke Pelabuhan Klang Malaysia sekitar tiga jam. “Hanya 670 ribu ongkos untuk pulang pergi,” kata dia, sembari menunjukkan paspornya pada saya, seolah ingin menegaskan pada saya bahwa ia bukan ‘pendatang haram’.

Biasanya, kata Marzuki lagi, ia menetap di Chow Kit selama 15 hari. Setelah 15 hari berlalu untuk berbelanja, ia kembali ke kampung halamannya. Begitulah pekerjaannya.