oleh Firdaus Yusuf
Ini
adalah sepotong kisah tentang orang-orang Aceh di Chow Kit; dan orang-orang
dari negara-negara ASEAN di Kuala
Lumpur, Malaysia kala berlangsungnya ASEAN Civil Society Conference/ASEAN
Peoples’ Forum 2015. Juga tentang “buku-buku saku Anwar Ibrahim”.
CHOW
KIT, MALAYSIA SENIN, 20 APRIL 2015. Sebuah bendera Malaysia yang tampak pudar dan usang
terpampang di kedai itu. Jika kita masuk ke dalam kedai seluas tiga kali
lapangan tenis itu, kita akan menemukan beberapa rak nasi yang terbuat dari stainless steel–penuh dengan berbagai lauk—di sana.
Jika melangkah sedikit ke depan, melewati pintu masuk, tepat di sebelah kiri,
kita akan menemukan rak mie Aceh di dekat dapur kopi.
Kedai yang beralamat di
kawasan Chow Kit, Malaysia itu, bernama Aceh Meutuah.
Orang-orang yang duduk
di kursi-kursi plastik putih di dalam kedai tersebut rata-rata bertutur dalam
bahasa Aceh. Saya menghampiri salah satu meja tempat di mana batu-batu cincin
digelar.
“Batu dari Aceh,” ujar
Marzuki, 42 tahun, ketika saya menatap batu-batu cincin tersebut.
Batu-batu cincin miliknya
itu, kata dia, hanya dibeli oleh orang-orang Aceh yang tinggal di Malaysia.
“Tak laku dijual untuk orang Melayu,” ujarnya, menjelaskan.
Kepada saya Marzuki mengatakan, ia menjual batu cincin yang telah diikatdengan gagang seharga 100 RM.
Dalam beberapa bulan
terakhir, nyaris di seluruh pelosok Aceh, baik itu di pinggir-pinggir jalan,
kedai kopi, maupun di masjid atau meunasah
(surau), orang-orang bicara soal jenis-jenis batu cincin.
Marzuki mendaku, ia ke
Malaysia dengan menempuh jalur laut, menggunakan Kapal Feri. Waktu tempuh dari
Pelabuhan Tanjung Balai Sumatera Utara ke Pelabuhan Klang Malaysia sekitar tiga
jam. “Hanya 670 ribu ongkos untuk pulang pergi,” kata dia, sembari menunjukkan
paspornya pada saya, seolah ingin menegaskan pada saya bahwa ia bukan
‘pendatang haram’.
Biasanya, kata Marzuki
lagi, ia menetap di Chow Kit selama 15 hari. Setelah 15 hari berlalu untuk
berbelanja, ia kembali ke kampung halamannya. Begitulah pekerjaannya.