Oleh Firdaus Yusuf
Ia yang mencari Pram dan menulis kisah-kisah yang tak muncul di
suratkabar kala operasi militer di Aceh berlangsung hingga ke kampung-kampung.
SUATU hari di tahun
1980, ketika sedang berada di rumah salah seorang temannya, Musmarwan Abdullah
menemukan sebuah tong berisikan buku-buku. Buku-buku yang ada dalam tong
itu tampak berdebu, tak terurus. Ia lantas meminta izin pada temannya untuk
membawa pulang beberapa buku yang ada di dalam tong tersebut ke rumah yang,
kemudian diiyakan oleh si teman.
“Saya menemukan buku-buku filsafat
Jerman yang masih dalam ejaan yang belum disempurnakan,” kata dia, Selasa, 15
September, 2015.
Ternyata, ia juga menemukan tong-tong
buku yang nyaris tak pernah lagi disentuh di rumah teman-temannya yang lain.
“Kakek-kakek teman saya itu umumnya
pejabat di masa Orde Lama. Ada yang polisi, jaksa...,” kata dia. “Tapi,
kemudian saya heran, mengapa generasi ayah teman-teman saya tidak mempedulikan
tong-tong tersebut. Tidak membaca buku-buku itu.”
Menurutnya, budaya membaca generasi
Orde Lama lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Orde Baru. “Saya kira,
buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa asing yang bagus pun lebih banyak
diterbitkan di masa Orde Lama,” kata dia, dalam suara yang agak tertahan.
Malam itu, kami berbincang-bincang di
Kedai Kopi Famili 100 Sigli, tempat di mana biasanya Musmarwan menghabiskan
waktu senggang. Cara bertuturnya lirih tapi tegas.
Kami duduk menghadap jalan raya, di
bawah pohon seri. Musmarwan, yang malam itu dalam setelan baju kaus rajut lengan
panjang dan jins biru, bercerita tentang pengalaman membaca dan karir
menulisnya. “Dulu, awalnya kan saya waktu kecil biasa baca cergam, cerita
bergambar,” tutur Musmarwan. “Saya dan teman-teman saling mengumpulkan uang
untuk membeli cergam.”
Pria bertubuh tinggi-besar itu
berkisah, saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)
Beureunun, Pidie, Aceh, di penghujung tahun 1986, ia pergi ke salah satu toko
buku yang ada di depan sekolahnya. Ketika tengah memilih buku untuk dibeli, ia
menemukan sebuah buku yang ditaruh di rak depan. Judulnya: Bumi Manusia.
Ia penasaran dengan judul buku
tersebut. Sepertinya, itu buku ilmu alam (Geografi), bumi, manusia, pikirnya.
Musmarwan lalu membeli buku itu.
Sesampainya di rumah, ketika ia mulai membacanya, baru ia tahu kalau buku yang
ia beli tersebut adalah sebuah novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan
buku pelajaran sejenis Geografi.
“Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”
“Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”
Setelah menamatkan SMA, Musmarwan
hijjrah ke Medan, Sumatera Utara. Ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi,
Universitas Medan Area. Fakultas Psikologi tempatnya sempat tercatat sebagai
mahasiswa, kata Musmarwan, adalah Fakultas Psikologi pertama di luar Pulau Jawa
yang diizinkan oleh Orde Baru.