Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Kamis, 01 Oktober 2015

Musmarwan Abdullah

Oleh Firdaus Yusuf

Ia yang mencari Pram dan menulis kisah-kisah yang tak muncul di suratkabar kala operasi militer di Aceh berlangsung hingga ke kampung-kampung.

SUATU hari di tahun 1980, ketika sedang berada di rumah salah seorang temannya, Musmarwan Abdullah menemukan sebuah tong berisikan buku-buku.  Buku-buku yang ada dalam tong itu tampak berdebu, tak terurus. Ia lantas meminta izin pada temannya untuk membawa pulang beberapa buku yang ada di dalam tong tersebut ke rumah yang, kemudian diiyakan oleh si teman.

“Saya menemukan buku-buku filsafat Jerman yang masih dalam ejaan yang belum disempurnakan,” kata dia, Selasa, 15 September, 2015.

Ternyata, ia juga menemukan tong-tong buku yang nyaris tak pernah lagi disentuh di rumah teman-temannya yang lain.

“Kakek-kakek teman saya itu umumnya pejabat di masa Orde Lama. Ada yang polisi, jaksa...,” kata dia. “Tapi,  kemudian saya heran, mengapa generasi ayah teman-teman saya tidak mempedulikan tong-tong tersebut. Tidak membaca buku-buku itu.”

Menurutnya, budaya membaca generasi Orde Lama lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Orde Baru. “Saya kira, buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa asing yang bagus pun lebih banyak diterbitkan di masa Orde Lama,” kata dia, dalam suara yang agak tertahan.

Malam itu, kami berbincang-bincang di Kedai Kopi Famili 100 Sigli, tempat di mana biasanya Musmarwan menghabiskan waktu senggang. Cara bertuturnya lirih tapi tegas.

Kami duduk menghadap jalan raya, di bawah pohon seri. Musmarwan, yang malam itu dalam setelan baju kaus rajut lengan panjang dan jins biru, bercerita tentang pengalaman membaca dan karir menulisnya. “Dulu, awalnya kan saya waktu kecil biasa baca cergam, cerita bergambar,” tutur Musmarwan. “Saya dan teman-teman saling mengumpulkan uang untuk membeli cergam.”

Pria bertubuh tinggi-besar itu berkisah, saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Beureunun, Pidie, Aceh, di penghujung tahun 1986, ia pergi ke salah satu toko buku yang ada di depan sekolahnya. Ketika tengah memilih buku untuk dibeli, ia menemukan sebuah buku yang ditaruh di rak depan. Judulnya: Bumi Manusia.

Ia penasaran dengan judul buku tersebut. Sepertinya, itu buku ilmu alam (Geografi), bumi, manusia, pikirnya.

Musmarwan lalu membeli buku itu. Sesampainya di rumah, ketika ia mulai membacanya, baru ia tahu kalau buku yang ia beli tersebut adalah sebuah novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan buku pelajaran sejenis Geografi.

 “Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”

Setelah menamatkan SMA, Musmarwan hijjrah ke Medan, Sumatera Utara. Ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi, Universitas Medan Area. Fakultas Psikologi tempatnya sempat tercatat sebagai mahasiswa, kata Musmarwan, adalah Fakultas Psikologi pertama di luar Pulau Jawa yang diizinkan oleh Orde Baru.