Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Senin, 10 Agustus 2015

Tanah Kebebasan Tanpa Kepastian Hukum



Oleh Firdaus Yusuf

DAUGHTER OF FORTUNE (Putri Keberuntungan), novel karya Isabel Allende, berkisah tentang tiga bersaudara yang saling menyimpan rahasia. John Sommer, Jeremy Sommer, dan Rose Sommer. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Mereka pindah ke Chile, setelah Jeremy Sommer memimpin perusahaan ekspor-impor Inggris di sana.

Rose memiliki affair dengan Karl Bretzner, penyanyi asal Wina, yang ternyata telah memiliki istri. Hal ini pada awalnya hanya diketahui Rose dan Jeremy. Sedangkan John memiliki seorang anak haram, Eliza, hasil cinta liarnya di sekitar pelabuhan dengan perempuan Chile yang tak lagi diingatnya. Pada awalnya rahasia ini hanya diketahui oleh Rose dan John. Kelak, semua rahasia itu terkuak.

Pada lapisan lain kita diperkenalkan dengan Joaquin Andieta, seorang pemuda miskin yang bekerja pada perusahaan Jeremy Sommer. Pemuda ini telah memikat hati Eliza dan mengubah hidup sang gadis.

Sabtu, 08 Agustus 2015

Mengungsi dan Menjadi Eksil



Oleh Firdaus Yusuf



Mereka terpuruk oleh konflik bersenjata. Bangkit dengan pengetahuan di kamp pengungsian. Lalu menjadi eksil karena dikejar-kejar militer. Pascatsunami mereka pulang.

 1

DI SALAH satu kedai kopi di Gampong Alue Bungkoh, Kecamatan Pirak Timu, Aceh Utara, saya bertemu dengan Marzuki Abdullah, ayah tiga anak yang bertubuh sedikit gempal, dengan senyum lebar yang selalu mengembang kala ia bicara. Kulitnya kuning langsat. Di kedai yang terletak di antara sawah yang kering-kerontang dan jalan belum teraspal, kami bicara soal PCC. People’s Crisis Centre. Sebuah lembaga kamanusiaan—lebih dikenal dengan lembaga yang aktif mendampingi pengungsi di kamp pengungsian kala konflik di Aceh—yang dideklarasikan pada tanggal 6 Januari 1999 di Pusong, Lhokseumawe. 

Kala itu, lembaga ini dimotori oleh para mahasiwa. Para pendirinya: Juanda Djamal, Kautsar Abu Yus, Zulham Ibrahim, dan Iqbal Farabi, dan Otto Syamsuddin Ishak.

U.S. Committee for Refugees (USCR) mencatat pada Juli 1999, kira-kira 130.000-140.000 masyarakat Aceh mengungsi.  PCC ada di antara para pengungsi tersebut.

Marzuki, dengan setelan kemeja biru dan jins biru, tampak begitu kocak ketika berbaur dengan orang-orang di kedai itu. Nada bicaranya terdengar meletup-letup.

Ketika saya katakan saya ingin mewawancarainya ihwal PCC, ia lantas sedikit berubah. Marzuki menjawab pertanyaan saya penuh wibawa. Dengan bahasa Indonesia. 

Kamis, 06 Agustus 2015

TerasSore, Seni Rupa, dan Idrus bin Harun



Oleh Firdaus Yusuf


Di TerasSore, dua kurator muda bercerita seputar dunia kuratorial. Tulisan ini mencoba merangkumnya meskipun tidak dengan sebuah detail informasi yang utuh. Selain itu, tulisan ini juga mencoba mengetengahkan perjalanan karir melukis Idrus bin Harun.

DUDUK di antara dinding-dinding yang dipenuhi mural yang mengangkat tema tentang berbagai isu sosial kekinian di Aceh, di bawah langit kota Banda Aceh, Rabu, (24/6/2015) sore, Amroe & Pane Band, sebuah band indie di Aceh, menyanyikan lagu dengan suara yang agak pelan. Diiringi petikan gitar dan dentaman cajon (drum akustik), Zulfan, bersama dua rekannya—Muhammad Iqbal dan Erol—membuka acara diskusi TerasSore yang digelar Komunitas Kanot Bu di BilikRoepa PaskaDOM, Bivak Emperoom.

Beberapa menit kemudian, lirih terdengar: “seulanga tinggai tangke”, dari mulut Zulfan, yang sekaligus menandakan berakhirnya lagu itu.

Daun-daun akasia yang menjadi atap ruangan itu luruh dari dahan.

Sekejap kemudian, Muhadzier M Salda, yang sore itu mengenakan kaus hitam dan jins biru, bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di tengah-tengah ruangan yang pada Desember 2004 silam dihantam tsunami. Pembawa acara TerasSore itu membenarkan letak kopiah beludru di kepalanya, kemudian menyampaikan sepatah dua patah salam pembuka.

“TerasSore hari ini merupakan kali kedua setelah sebelumnya kita mengadakan diskusi bertajuk musik dan kepekaan sosial,” katanya di depan puluhan peserta diskusi yang hadir. “Hari ini kita kedatangan dua kurator muda Jakarta Biennale 2015.” 

Dua kurator Jakarta Biennale 2015—dari enam kurator lainnya—yang dimaksud Muhadzier: Putra Hidayatullah dan Asep Topan. Keduanya menjadi pembicara diskusi, yang pada sore itu mengangkat tema: “Rupa Membongkar Kepura-puraan”.

Jakarta Biennale merupakan ajang perhelatan seni rupa kontemporer dua tahunan. Selain mengadakan pameran seni rupa berskala internasional pada 15 November 2015 hingga 17 Januari 2015 nanti, Jakarta Biennale juga mengadakan sejumlah program lainnya, yaitu seminar, lokakarya, edukasi publik, dan panggung pertunjukan. Kali ini pertama kalinya diselenggarakan oleh Yayasan Jakarta Biennale, setelah sebelumnya selalu diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 1974. Dalam Jakarta Biennale 2015 ini juga dilibatkan para kurator muda dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh, Makassar, Bandung, Jakarta, dan Surabaya.