Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Kamis, 17 Maret 2016

Hikayat Emping Melinjo



 Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa
DI SEBERANG sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan. Jika kau masuk ke kampung itu, kau akan menjejakkan kaki di atas jalanan berbatu dan berlubang nan sunyi tempat lutung-lutung duduk, berjalan, atau berlari tanpa ada seorang pun yang mengganggu. 

Bertahun-tahun silam, sebelum ditutupi tanaman liar setinggi pusar orang dewasa, jalanan tersebut sering dilalui sepeda motor para pengepul emping melinjo. Apabila kau berjalan menyusuri lebih jauh ke dalamnya, kau akan bertemu dengan seorang perempuan dengan bola mata yang seakan tampak putih, yang tengah menunggu roh suami dan anak-anaknya pulang ke rumah.

Dalam penantiannya itu, saban hari, dia menyibukkan diri dengan menghempaskan palu besi yang kepalanya dibalut plastik putih, ke atas melinjo-melinjo yang sebelumnya telah dikupas kulitnya dan telah digongseng dengan kerikil. Gerakannya bagai hakim yang mengetuk palu sidang. Hanya saja perempuan itu mengayun benda itu berkali-kali, di atas sebuah alas dari kayu sawo selebar lubang sumur. Dia tak pernah peduli pada peluh yang membasahi lehernya.

Perempuan itu Hasanah, ibu dua anak. Para penggembala sapi menghormatinya, karena dia tak bisa dibunuh waktu; tak dapatdihancurkan hujan dan kemarau dalam penantiannya menunggu suami dan anak-anaknya pulang.

Berdasarkan penuturan para penggembala sapi aku menulis kembali cerita ini. Di depan tempat Hasanah duduk memipihkan buah melinjo, tampak sebuah pagar bambu berdiri goyah. Pagar bambu itu melingkari rumahnya yang berdiri di tengah-tengah pepohonan melinjo. Rumah itu sekilas terlihat tak berpenghuni, karena dinding-dindingnya ditumbuhi semak-belukar yang merambat liar. Di sisi kiri rumah itu, sebuah talang air mencuat, dan lumut menggerogoti seluruh bagiannya. Mata Hasanah tertuju ke arah talang air di rumahnya tersebut. Lubang kecil yang menganga itu membuatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam masa-masa menatap talang air itulah, ia kembali terkenang kepulangan kedua putranya pada suatu sore di bulan Desember, manakala hujan sering turun dengan deras dan membuat halaman rumahnya becek.


Sore itu, kedua putranya, Ibrahim dan Ismail, pulang ke rumah setelah sekian bulan mereka tak diketahui rimbanya.

Berdiri menghadap kandang ayam dengan tangan kanan memegang wajan plastik berisi nasi basi bercampur dedak, Hasanah terkejut mendapati kedua putranya. Dari balik perdu bambu mereka melangkah pelan menuju ke tempatnya berdiri. Ia segera meletakkan wajan plastik itu dan membuka kunci pengait kandang ayam lalu membiarkan ayam-ayam yang terkurung di kandang tadi menyerbu wajan dengan serakah, disertai suara-suara jeritan kelaparan. Lalu Hasanah melangkah menuju tempat kedua putranya berdiri, tepat di bawah talang air dan di bawah langit mendung. “Masuklah,” ujar Hasanah kemudian, setengah berbisik. Matanya memandang waspada ke sekitar tempat mereka berdiri.

Menyambut kepulangan mendadak dua putranya, Hasanah begitu sibuk sore itu. Ia menanak nasi dan menggoreng telur ayam serta memanasi kuah sisa tadi siang. Sementara itu, kedua putranya, setelah mandi di sumur secara bergantian dan bersalin pakaian, merebahkan tubuh mereka di kasur kapuk di kamar.

Beberapa saat kemudian, ketika anak-beranak itu duduk di meja makan, mereka saling bertukar kabar seadanya. Tak ada pembahasan yang serius kecuali tentang kondisi mereka masing-masing.

“Apa di sana kalian tidak diberi makan?” tanya Hasanah pada kedua putranya. “Kalian tampak begitu kurus.”

Ditanyai seperti itu, Ibrahim dan Ismail saling bertatap-tatapan sesaat, saling senyum menggoda, lalu melanjutkan makan. Selepas Magrib, keduanya pamit pada ibu mereka. 

SEMENTARA Hasanah dicabik-cabik kenangan masa lalu yang mempertemukannya dengan anak-anaknya, seekor ayam hutan tampak begitu gagah berdiri sambil mengepak-ngepakkan sayapnya di atas pagar yang oleng di hadapannya itu.

Hasanah bangkit dengan berat. Lamban. Ia mengusir ayam hutan yang tak selesai berkokok di atas pagar itu, karena ia tak ingin membiarkan ayam tersebut mengais tumpukan emping yang segera akan ia jemur. Ayam terkutuk, ujar Hasanah, sambil melemparkan batu ke arah ayam tersebut. Lalu ia mengutip buah melinjo yang berserak di tanah.

Ia berjalan menunduk. Dan sekejap kemudian ia berdiri di dekat pagar tempat di mana ia seolah melihat sebuah truk reo melintas di depannya. Semakin jauh truk itu marasuki pikirannya, semakin bergetar tubuhnya. Ia terduduk di atas sebuah batu yang sedikit lebih besar daripada pantatnya. Saat itu, ia tak bisa dipisahkan dengan hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun ketika truk-truk reo tentara lewat di depan jalan rumahnya, yang saban masuk kampung tak peduli telah melindas unggas milik warga.

Bertahun-tahun yang lalu, kampung itu seperti seekor kura-kura. Lambat dan selalu didera ketakutan setiap kali orang asing berada di sana. Pada malam hari Hasanah selalu dihinggapi was-was.Ketika malam tiba, ketika masa-masa semua laki-laki di atas 17 tahun di kampung wajib jaga malam di pos jaga, kegelapan di kampung itu hanya ditemani bunyi jangkrik dan suara hembusan angin. Pada masa inilah suaminya lenyap dan kedua putranya beranjak dewasa.

HASANAH semakin tenggelam dalam pikirannya saat kenangan-kenangan yang tak bisa dicegahnya itu membikin dadanya semakin sesak.

Ia kembali terngiang ketika suatu subuh Ibrahim berdiri di pintu sumur dan berdehem beberapa kali. Ketika itu anak-anaknya sudah semakin jarang menjumpainya. “Kaukah itu, Ibrahim?”

“Iya, Ibu.”

Ketika ia masuk ke dalam rumah, Hasanahkembali merebahkan tubuhnya di atas balai di dekat dapur. Matanya menatap langit-langit. Selang beberapa saat, Hasanah bertanya, “Di mana Ismail?”

Ia lalu bangkit dari balai dan menuju ke tungku untuk mendorong kayu bakar yang telah setengah dimakan api.

“Dia sehat, Bu.”
“Aku tanya,” kata Hasanah sambil menatap tajam ke wajah Ibrahim. “Di mana Ismail?”
“Dia bersama pasukan lain, Bu.”

Hasanah diam sesaat. Sebuah tinju seperti mendarat di kepalanya.

“Aku tak akan membuka pintu lagi jika kau pulang ke rumah tanpa Ismail,” ujar Hasanah, ketika ia menghidangkan semangkuk kuah sisa kemarin malam di atas meja makan.

Usai makan dan beristirahat sesaat, Ibrahim pergi meninggalkan rumah dengan menyelempangkan senjata AK-47 di atas bahunya. Sebagai seorang ibu, jelas Hasanah begitu mengkhawatirkan anak bungsunya, Ismail. Ketika Hasanah bertemu Ismail terakhir kali, tubuh anaknya yang tegap itu dibalut kemeja loreng usang. Sebelum meninggalkan rumah, Ismail, remaja yang memiliki hidung mancung dengan tinggi hampirsetinggi pilar-pilar di rumah panggung itu, menyalami ibunya penuh takzim. Sedikit lama. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya.

Kala itu, tak ada yang diharapkan Hasanah selain kedua anaknya bisa pulang ke rumah dan menjalani hidup seperti sediakala sebelum keduanya memilih menjadi gerilyawan pada suatu hari setelah beberapa tahun ayah mereka, Yakub, hilang tanpa jejak.

Beberapa minggu kemudian, Ibrahim kembali ke rumah.Tapi karena ia pulang seorangdiri dan tidak bisa menjawab pertanyaan Hasanah tentang keberadaan adiknya, Hasanah urung membuka pintu. Dia menahan pintu rumahnya dengan kuat, seperti menahan sesuatu yang telah bertahun-tahun membuat dadanya sesak.
“Ibu,” kata Ibrahim di bawah tangga, setengah terisak. “Aku lapar.”
“Aku takut, Bu,” kata Ibrahim lagi.
“Aku tak akan pernah membuka pintu rumahku jika kau pulang tanpa Ismail!” seru Hasanah sambil menyapu airmata di pipinya.

“Kau seharusnya kumasukkan kembali kedalam rahimku karena kau sama sekali tak berguna!”

HASANAH telah selesai menjemur emping-emping melinjo ketika seorang laki-laki muda dengan hidung yang mengembang bagai jambu air memasuki pekarangan rumahnya.

“Ibu,” ujar laki-laki muda itu, sesampainya di hadapan Hasanah. “Sampai kapan kau tak mau membuka pintu rumahmu, Bu. Sampai kapan kau membiarkan aku terkatung-katung antara langit dan bumi?”

Mendengar pertanyaan tersebut, Hasanah mengalihkan pandangannya yang semula menatap tanah, ke arah laki-laki muda yang memiliki kulit seputih tepung itu. Tapi tetap saja Hasanah tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Lalu laki-laki berwajah murung itu raib, seperti ada angin yang meniupnya. Laki-laki itu adalah Ibrahim. Seekor ayam hutan yang memiliki taji panjang dan melengkung ke atas seperti huruf ba, mengais-ngais tanah dengan gerak kaki yang payah dan lambat, tak jauh dari tempat Hasanah duduk. Ayam itu membuyarkan lamunannya. Hasanah bangkit dari tempat duduknya, memijat jidatnya yang berkerut dan mengedip-ngedipkan matanya sejenak. Ia seakan melihat ribuan semut berserakan di udara. Lalu ia berjalan ke arah tangga depan rumah panggungnya yang dipenuhi daun melinjo kering. Di anak tangga kelima, ia duduk dengan melemparkan pandangan ke depan. Hasanah menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan mata berat.Dia agak lelah dan berusaha memejamkan matanya. Dia terkejut ketika sebuah suara memanggilnya. Suara Ibrahim. Dan Ibrahim berdiri di bawah tangga.

“Ibu,” kata Ibrahim, yang suaranya seolah memantul dari dinding-dinding rumah, “Bolehkah aku masuk?”

“Di mana Ismail?” ujar Hasanah ketus.
“Aku benar-benar tidak tahu, Bu,” jawab Ibrahim terbata. “Aku mohon, Bu.”

Hasanah menggeleng dan memejamkan matanya kembali. Itu sudah cukup sebagai isyarat dia menolak permintaan anak sulungnya. Segera setelah itu, angin bertiup. Suara angin yang menggoyang dahan-dahan pohon melinjo terndengar mirip suara rintihan. Dan Ibrahim hilang bersamaan dengan lenyapnya suara-suara itu, tepat ketika dahan-dahan pohon melinjo tak lagi bergoyang.

SUATU subuh pada hari meugang Idul Fitri, Hasanah sedang mencuci beras di sumur. Ketika melemparkan timba ke sumur, air sumur memantulkan wajah Ibrahim. Dengan suara menggema Ibrahim berkata, “Ibu maafkan aku dan izinkan aku masuk.”

Hasanah meremas-remas beras di dalam panci yang telah diisi air dengan sekuat tenaga yang ia punya. “Bahkan ketika meugang pun kau tak izinkan aku masuk,” kata Ibrahim lagi.

Mendengar permohonan yang lebih mirip ejekan itu, sesuatu bergemuruh kencang di dalam dada Hasanah. Ia mengutuk sumur, lantas membuang panci beserta isinya ke dalam sumur.

BEBERAPA penggembala yang mencari sapi-sapi mereka yang tersesat dan berjalan jauh hingga ke lereng Perbukitan Barisan, mengatakan kepadaku, bahwa ada sebuah kampung di seberang sebuah anak sungai yang banyak ditumbuhi pepohonan melinjo tidak benar-benar ditinggalkan penduduknya. Menurut para penggembala itu, sekali-kali mereka masih mendengar suara-suara ketukan palu di sebuah rumah. Kadang-kadang di tengah keheningan, para penggembala mendengar suara seorang perempuan yang berbicara seorang diri dan hampir-hampir tidak menyadari kehadiran mereka.

“Ibrahim,” kata Hasanah. “Enyahlah dari hadapanku. Berapa kali harus kukatakan, aku tak akan membuka pintu jika kau pulang tanpa Ismail.”

Mendengar kata-kata Hasanah, seorang penggembala yang melintas di depan rumah itu dan cemas belum menemukan sapinya, menyahut dengan canggung, “Saya Sulaiman, Bu.”

“Kukira si Ibrahim pulang lagi,” kata Hasanah.

Sambil menjulurkan lehernya ke dalam pekarangan rumah itu untuk mencari sumber suara, si penggembala sapi kembali berkata, “Ibrahim sudah tak ada. Dia sudah meninggal. Apa Ibu lihat ada sapi berkeliaran di sekitar sini?”

Dalam dua tarikan napas Hasanah menjawab, “Tidak.” []

(Cerita ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu 6 September 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar