Cerpen Firdaus Yusuf
Ilustrasi: Tauris Mustafa |
DI SEBERANG sebuah anak sungai di Pidie, kau akan menemukan sebuah kampung di mana
pohon-pohon melinjo tumbuh berhimpitan. Jika kau masuk ke kampung itu, kau akan
menjejakkan kaki di atas jalanan berbatu dan berlubang nan sunyi tempat
lutung-lutung duduk, berjalan, atau berlari tanpa ada seorang pun yang
mengganggu.
Bertahun-tahun
silam, sebelum ditutupi tanaman liar setinggi pusar orang dewasa, jalanan
tersebut sering dilalui sepeda motor para pengepul emping melinjo. Apabila kau
berjalan menyusuri lebih jauh ke dalamnya, kau akan bertemu dengan seorang
perempuan dengan bola mata yang seakan tampak putih, yang tengah menunggu roh
suami dan anak-anaknya pulang ke rumah.
Dalam
penantiannya itu, saban hari, dia menyibukkan diri dengan menghempaskan palu
besi yang kepalanya dibalut plastik putih, ke atas melinjo-melinjo yang
sebelumnya telah dikupas kulitnya dan telah digongseng dengan kerikil.
Gerakannya bagai hakim yang mengetuk palu sidang. Hanya saja perempuan itu
mengayun benda itu berkali-kali, di atas sebuah alas dari kayu sawo selebar
lubang sumur. Dia tak pernah peduli pada peluh yang membasahi lehernya.
Perempuan itu
Hasanah, ibu dua anak. Para penggembala sapi menghormatinya, karena dia tak
bisa dibunuh waktu; tak dapatdihancurkan hujan dan kemarau dalam penantiannya
menunggu suami dan anak-anaknya pulang.
Berdasarkan
penuturan para penggembala sapi aku menulis kembali cerita ini. Di depan tempat
Hasanah duduk memipihkan buah melinjo, tampak sebuah pagar bambu berdiri goyah.
Pagar bambu itu melingkari rumahnya yang berdiri di tengah-tengah pepohonan
melinjo. Rumah itu sekilas terlihat tak berpenghuni, karena dinding-dindingnya
ditumbuhi semak-belukar yang merambat liar. Di sisi kiri rumah itu, sebuah
talang air mencuat, dan lumut menggerogoti seluruh bagiannya. Mata Hasanah
tertuju ke arah talang air di rumahnya tersebut. Lubang kecil yang menganga itu
membuatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dalam masa-masa menatap talang
air itulah, ia kembali terkenang kepulangan kedua putranya pada suatu sore di
bulan Desember, manakala hujan sering turun dengan deras dan membuat halaman
rumahnya becek.
Sore itu, kedua
putranya, Ibrahim dan Ismail, pulang ke rumah setelah sekian bulan mereka tak
diketahui rimbanya.
Berdiri
menghadap kandang ayam dengan tangan kanan memegang wajan plastik berisi nasi
basi bercampur dedak, Hasanah terkejut mendapati kedua putranya. Dari balik
perdu bambu mereka melangkah pelan menuju ke tempatnya berdiri. Ia segera
meletakkan wajan plastik itu dan membuka kunci pengait kandang ayam lalu
membiarkan ayam-ayam yang terkurung di kandang tadi menyerbu wajan dengan
serakah, disertai suara-suara jeritan kelaparan. Lalu Hasanah melangkah menuju
tempat kedua putranya berdiri, tepat di bawah talang air dan di bawah langit mendung.
“Masuklah,” ujar Hasanah kemudian, setengah berbisik. Matanya memandang waspada
ke sekitar tempat mereka berdiri.
Menyambut
kepulangan mendadak dua putranya, Hasanah begitu sibuk sore itu. Ia menanak
nasi dan menggoreng telur ayam serta memanasi kuah sisa tadi siang. Sementara
itu, kedua putranya, setelah mandi di sumur secara bergantian dan bersalin
pakaian, merebahkan tubuh mereka di kasur kapuk di kamar.
Beberapa saat
kemudian, ketika anak-beranak itu duduk di meja makan, mereka saling bertukar kabar
seadanya. Tak ada pembahasan yang serius kecuali tentang kondisi mereka
masing-masing.
“Apa di sana
kalian tidak diberi makan?” tanya Hasanah pada kedua putranya. “Kalian tampak
begitu kurus.”
Ditanyai
seperti itu, Ibrahim dan Ismail saling bertatap-tatapan sesaat, saling senyum
menggoda, lalu melanjutkan makan. Selepas Magrib, keduanya pamit pada ibu
mereka.
SEMENTARA
Hasanah dicabik-cabik kenangan masa lalu yang mempertemukannya dengan
anak-anaknya, seekor ayam hutan tampak begitu gagah berdiri sambil
mengepak-ngepakkan sayapnya di atas pagar yang oleng di hadapannya itu.
Hasanah bangkit
dengan berat. Lamban. Ia mengusir ayam hutan yang tak selesai berkokok di atas
pagar itu, karena ia tak ingin membiarkan ayam tersebut mengais tumpukan emping
yang segera akan ia jemur. Ayam terkutuk, ujar Hasanah, sambil melemparkan batu
ke arah ayam tersebut. Lalu ia mengutip buah melinjo yang berserak di tanah.
Ia berjalan
menunduk. Dan sekejap kemudian ia berdiri di dekat pagar tempat di mana ia
seolah melihat sebuah truk reo melintas di depannya. Semakin jauh truk itu
marasuki pikirannya, semakin bergetar tubuhnya. Ia terduduk di atas sebuah batu
yang sedikit lebih besar daripada pantatnya. Saat itu, ia tak bisa dipisahkan
dengan hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun ketika truk-truk reo tentara
lewat di depan jalan rumahnya, yang saban masuk kampung tak peduli telah
melindas unggas milik warga.
Bertahun-tahun
yang lalu, kampung itu seperti seekor kura-kura. Lambat dan selalu didera
ketakutan setiap kali orang asing berada di sana. Pada malam hari Hasanah
selalu dihinggapi was-was.Ketika malam tiba, ketika masa-masa semua laki-laki
di atas 17 tahun di kampung wajib jaga malam di pos jaga, kegelapan di kampung
itu hanya ditemani bunyi jangkrik dan suara hembusan angin. Pada masa inilah
suaminya lenyap dan kedua putranya beranjak dewasa.
HASANAH semakin
tenggelam dalam pikirannya saat kenangan-kenangan yang tak bisa dicegahnya itu
membikin dadanya semakin sesak.
Ia kembali
terngiang ketika suatu subuh Ibrahim berdiri di pintu sumur dan berdehem
beberapa kali. Ketika itu anak-anaknya sudah semakin jarang menjumpainya.
“Kaukah itu, Ibrahim?”
“Iya, Ibu.”
Ketika ia masuk
ke dalam rumah, Hasanahkembali merebahkan tubuhnya di atas balai di dekat
dapur. Matanya menatap langit-langit. Selang beberapa saat, Hasanah bertanya,
“Di mana Ismail?”
Ia lalu bangkit
dari balai dan menuju ke tungku untuk mendorong kayu bakar yang telah setengah
dimakan api.
“Dia sehat,
Bu.”
“Aku tanya,”
kata Hasanah sambil menatap tajam ke wajah Ibrahim. “Di mana Ismail?”
“Dia bersama
pasukan lain, Bu.”
Hasanah diam
sesaat. Sebuah tinju seperti mendarat di kepalanya.
“Aku tak akan
membuka pintu lagi jika kau pulang ke rumah tanpa Ismail,” ujar Hasanah, ketika
ia menghidangkan semangkuk kuah sisa kemarin malam di atas meja makan.
Usai makan dan
beristirahat sesaat, Ibrahim pergi meninggalkan rumah dengan menyelempangkan
senjata AK-47 di atas bahunya. Sebagai seorang ibu, jelas Hasanah begitu
mengkhawatirkan anak bungsunya, Ismail. Ketika Hasanah bertemu Ismail terakhir
kali, tubuh anaknya yang tegap itu dibalut kemeja loreng usang. Sebelum
meninggalkan rumah, Ismail, remaja yang memiliki hidung mancung dengan tinggi
hampirsetinggi pilar-pilar di rumah panggung itu, menyalami ibunya penuh
takzim. Sedikit lama. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Kala itu, tak
ada yang diharapkan Hasanah selain kedua anaknya bisa pulang ke rumah dan
menjalani hidup seperti sediakala sebelum keduanya memilih menjadi gerilyawan
pada suatu hari setelah beberapa tahun ayah mereka, Yakub, hilang tanpa jejak.
Beberapa minggu
kemudian, Ibrahim kembali ke rumah.Tapi karena ia pulang seorangdiri dan tidak
bisa menjawab pertanyaan Hasanah tentang keberadaan adiknya, Hasanah urung
membuka pintu. Dia menahan pintu rumahnya dengan kuat, seperti menahan sesuatu
yang telah bertahun-tahun membuat dadanya sesak.
“Ibu,” kata
Ibrahim di bawah tangga, setengah terisak. “Aku lapar.”
“Aku takut,
Bu,” kata Ibrahim lagi.
“Aku tak akan
pernah membuka pintu rumahku jika kau pulang tanpa Ismail!” seru Hasanah sambil
menyapu airmata di pipinya.
“Kau seharusnya
kumasukkan kembali kedalam rahimku karena kau sama sekali tak berguna!”
HASANAH telah
selesai menjemur emping-emping melinjo ketika seorang laki-laki muda dengan
hidung yang mengembang bagai jambu air memasuki pekarangan rumahnya.
“Ibu,” ujar
laki-laki muda itu, sesampainya di hadapan Hasanah. “Sampai kapan kau tak mau
membuka pintu rumahmu, Bu. Sampai kapan kau membiarkan aku terkatung-katung
antara langit dan bumi?”
Mendengar
pertanyaan tersebut, Hasanah mengalihkan pandangannya yang semula menatap
tanah, ke arah laki-laki muda yang memiliki kulit seputih tepung itu. Tapi
tetap saja Hasanah tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Lalu laki-laki
berwajah murung itu raib, seperti ada angin yang meniupnya. Laki-laki itu
adalah Ibrahim. Seekor ayam hutan yang memiliki taji panjang dan melengkung ke
atas seperti huruf ba, mengais-ngais tanah dengan gerak kaki yang payah dan
lambat, tak jauh dari tempat Hasanah duduk. Ayam itu membuyarkan lamunannya.
Hasanah bangkit dari tempat duduknya, memijat jidatnya yang berkerut dan
mengedip-ngedipkan matanya sejenak. Ia seakan melihat ribuan semut berserakan
di udara. Lalu ia berjalan ke arah tangga depan rumah panggungnya yang dipenuhi
daun melinjo kering. Di anak tangga kelima, ia duduk dengan melemparkan
pandangan ke depan. Hasanah menyandarkan tubuhnya di daun pintu dengan mata
berat.Dia agak lelah dan berusaha memejamkan matanya. Dia terkejut ketika
sebuah suara memanggilnya. Suara Ibrahim. Dan Ibrahim berdiri di bawah tangga.
“Ibu,” kata
Ibrahim, yang suaranya seolah memantul dari dinding-dinding rumah, “Bolehkah
aku masuk?”
“Di mana
Ismail?” ujar Hasanah ketus.
“Aku
benar-benar tidak tahu, Bu,” jawab Ibrahim terbata. “Aku mohon, Bu.”
Hasanah
menggeleng dan memejamkan matanya kembali. Itu sudah cukup sebagai isyarat dia
menolak permintaan anak sulungnya. Segera setelah itu, angin bertiup. Suara
angin yang menggoyang dahan-dahan pohon melinjo terndengar mirip suara
rintihan. Dan Ibrahim hilang bersamaan dengan lenyapnya suara-suara itu, tepat
ketika dahan-dahan pohon melinjo tak lagi bergoyang.
SUATU subuh
pada hari meugang Idul Fitri, Hasanah sedang mencuci beras di sumur. Ketika
melemparkan timba ke sumur, air sumur memantulkan wajah Ibrahim. Dengan suara
menggema Ibrahim berkata, “Ibu maafkan aku dan izinkan aku masuk.”
Hasanah
meremas-remas beras di dalam panci yang telah diisi air dengan sekuat tenaga
yang ia punya. “Bahkan ketika meugang pun kau tak izinkan aku masuk,” kata
Ibrahim lagi.
Mendengar
permohonan yang lebih mirip ejekan itu, sesuatu bergemuruh kencang di dalam
dada Hasanah. Ia mengutuk sumur, lantas membuang panci beserta isinya ke dalam
sumur.
BEBERAPA
penggembala yang mencari sapi-sapi mereka yang tersesat dan berjalan jauh
hingga ke lereng Perbukitan Barisan, mengatakan kepadaku, bahwa ada sebuah
kampung di seberang sebuah anak sungai yang banyak ditumbuhi pepohonan melinjo
tidak benar-benar ditinggalkan penduduknya. Menurut para penggembala itu,
sekali-kali mereka masih mendengar suara-suara ketukan palu di sebuah rumah.
Kadang-kadang di tengah keheningan, para penggembala mendengar suara seorang
perempuan yang berbicara seorang diri dan hampir-hampir tidak menyadari
kehadiran mereka.
“Ibrahim,” kata
Hasanah. “Enyahlah dari hadapanku. Berapa kali harus kukatakan, aku tak akan
membuka pintu jika kau pulang tanpa Ismail.”
Mendengar
kata-kata Hasanah, seorang penggembala yang melintas di depan rumah itu dan
cemas belum menemukan sapinya, menyahut dengan canggung, “Saya Sulaiman, Bu.”
“Kukira si
Ibrahim pulang lagi,” kata Hasanah.
Sambil
menjulurkan lehernya ke dalam pekarangan rumah itu untuk mencari sumber suara,
si penggembala sapi kembali berkata, “Ibrahim sudah tak ada. Dia sudah
meninggal. Apa Ibu lihat ada sapi berkeliaran di sekitar sini?”
Dalam dua
tarikan napas Hasanah menjawab, “Tidak.” []
(Cerita ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu 6 September 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar