Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Jumat, 12 Februari 2016

Petualangan Sang Aristokrat

Oleh Firdaus Yusuf



HAJI MURAD, seorang pejuang Chechnya yang karismatik dan begitu gigih melawan tentara kekaisaran Rusia yang ingin menduduki tanah mereka, tak nampak gusar sedikitpun tatkala mengadapi maut yang sedang mengintainya. Shamil, imam yang memimpin bangsa Chehchnya-nya melawan Rusia, dengan berbagai cara tengah berupaya untuk menghabisi nyawanya. Ia mulai terusik dengan popularitas Haji Murad di tengah-tengah rakyat. Sosok Haji Murad, menurut Shamil, mengancam posisinya.
                                                                    
Haji Murad tampak tenang dan bersikap seolah tak ada hal yang perlu dirisaukannya. Tapi bukan berarti ia membiarkan dirinya lengah. Dalam keadaan tertidur sekalipun, ia bisa mencium bau maut yang tengah mengintainya, dan ia selalu berhasil meloloskan diri. Firasatnya memainkan peran yang sangat penting dalam masa-masa pelariannya itu. 

Bersama tiga pengikut setianya, Haji Murad akhirnya berhasil mendatangi pihak Rusia. Mereka disambut dengan suka-cita. Bagaimana tidak, musuh bebuyutan Rusia ini menyerahkan diri secara suka rela dan, hal itu tak pernah terbayangkan dalam benak jenderal Rusia manapun sebelumnya.

Tapi yang terjadi kemudian justru hal yang tak pernah ia duga: Shamil menculik ibu, kedua istri, dan anak-anaknya tak lama setelah ia menyerahkan diri pada pihak Rusia.

Sejak mengetahui kejadian itu, Haji Murad cemas bukan kepalang meskipun hal tersebut hanya nampak lewat pergulatan batinnya. Ia kemudian meminta pihak Rusia membantu membebaskan keluarganya lewat proses pertukaran tawanan. Tapi hal tersebut ditanggapi pihak Rusia seadanya. Berhari-hari Murad hanya menerima “angin surga”.

Terus-terusan digeluti kecemasan seperti itu, Haji Murad kerap tercenung sendiri, hingga suatu ketika tergiang olehnya “kisah Tavlin tentang seekor burang elang yang tertangkap, hidup bersama manusia, lalu kembali ke gunung untuk hidup bersama kawannya. Dia kembali, tapi mengenakan tali, dan di tali itu terdapat bel kecil”. (hal. 206).

Kelak, Haji Murad bersama tiga pengikutnya itu membunuh tentara-tentara Cossack (tentara kekaisaran Rusia)  saat mereka melarikan diri. Tapi akhirnya ia dan tiga murid-nya itu mati terbunuh. Mereka melawan sekuat tenaga yang mereka punya sebelum ajal menjemput.


Kisah dalam novel Leo Tolstoy yang berjudul Haji Murad ini mengetengahkan persoalan yang begitu rumit. Pada awalnya, Haji Murad (sebelum ia terbunuh saat melarikan diri dari pihak Rusia) ingin membalas dendam pada Shamil dengan memilih untuk berada di pihak Rusia yang tengah gencar-gencarnya memerangi Shamil dan kelompoknya. Tapi kemudian, Murad, yang sebelumnya adalah seorang loyalis Tsar (Kaisar) Rusia, justru memerangi kekaisaran Rusia karena “musuhnya, Akhmet Khan, yang ingin menghancurkannya, memfitnahnya di depan Jenderal Klugeau”. 

Haji Murad selamat dari upaya pembunuhan yang direncanakan oleh Akhmet Khan (pimpinan kelompok militer pribumi yang bekerja untuk pihak Rusia guna menumpas pemberontakkan yang dipimpin Shamil) dengan melompat dari tebing. Ia lantas memerangi pihak Rusia semata-mata karena didorong oleh keinginannya untuk membunuh Akhmet Khan. Kegigihan dan keberaniannya berperang melawan Rusia lalu mendapat pujian dari rakyatnya. Ia diagung-aguangkan. Hal inilah yang kemudian dirisaukan oleh Shamil.

Dalam salah satu suratnya untuk sang Jenderal Rusia, Klugeau, Murad menuliskan,“… ‘aku mengenakan serban bukan untuk Shamil, tetapi untuk keselamatan jiwaku, bahwa aku tidak bisa dan tidak akan bekerjasama dengan Shamil karena dialah yang menyebabkan ayah, saudara, dan kerabatku terbunuh. Namun, aku pun tidak bisa datang ke pihak Rusia karena mereka telah melecehkanku.’”  (hal. 120-121).

Yang menjadi pertanyaan adalah, setelah “penaklukkan dan pendudukan” berlalu, bagaimanakah cara “berdamai” dengan semua yang ditinggalkan olehnya. 

Praktik kolonialisme di wilayah manapun seakan menemukan satu benang merah: penggunaan satu kekuatan “di dalam”, biasanya dari suatu kelas tertentu di dalam masyarakat— para aristokrat—sebagai “rekan” atau “mitra” yang membantu berjalannya aktivitas di daerah “pendudukan”. Tapi hal tersebut pun tak bisa dilihat secara hitam dan putih, seperti kisah Haji Murad ini. 

Teuku Umar

KISAH dan sepak terjang Haji Murad ini mengingatkan saya pada petualangan Teuku Umar saat  Belanda "masuk" ke Aceh. 

Armada perang Negeri Kincir Angin itu, seperti dicatat dalam berbagai teks sejarah, menginvasi Aceh pada Maret 1873. 

Teuku Umar, sebut Paul Van’T Veer dalam bukunya Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, adalah pimpinan segerombolan pengacau di Pantai Barat. Suatu ketika kapal uap Inggris, Nisero, dibajak di kawasan kerajaan Teunom, di Pantai Barat. 

Raja Teunom, Teuku Jit, “menuntut uang tebusan 25.000 ringgit Spanyol dan jaminan bahwa blokade pantai kapal-kapal perang Belanda dihapuskan”. (hal. 119).

Seiring bergulirnya waktu, upaya Belanda yang mencoba menyelesaikan persoalan tersebut lewat aksi-aksi diplomatis  dan represif mereka mengalami kebuntuan. Sang raja Teunom pun semakin hari semakin menaikkan jumlah tebusan.  Dalam masa-masa genting inilah kemudian pihak Belanda meminta bantuan Teuku Umar dan komplotannya yang setahun sebelumnya telah takluk.

Tapi, karena mendapat perlakuan yang tak mengenakkan di dalam kapal (saat melakukan ekspedisi rahasia itu), Teuku Umar kemudian menghabisi tujuh orang awak kapal dengan kelewangnya. 

Drama penculikan awak kapal Nisero beberapa waktu kemudian pun berakhir: Raja Teunom menyerahkan tawanan tatkala skuadron Inggris-Belanda merapat ke bibir pantai wilayah kekuasaanya. 

Teuku Umar sendiri berasal dari keturunan hulubalang di pantai barat. Pada suatu ketika ia pun tewas di ujung senapan serdadu Belanda setelah sebelumnya ia memutuskan berjuang bersama-sama rakyat melawan Belanda dengan senapan, kelewang, siasat, dan tipu muslihat. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar