Oleh Firdaus Yusuf
HAJI MURAD, seorang pejuang Chechnya yang karismatik dan begitu gigih melawan tentara kekaisaran Rusia yang ingin menduduki tanah mereka, tak nampak gusar sedikitpun tatkala mengadapi maut yang sedang mengintainya. Shamil, imam yang memimpin bangsa Chehchnya-nya melawan Rusia, dengan berbagai cara tengah berupaya untuk menghabisi nyawanya. Ia mulai terusik dengan popularitas Haji Murad di tengah-tengah rakyat. Sosok Haji Murad, menurut Shamil, mengancam posisinya.
Haji Murad tampak
tenang dan bersikap seolah tak ada hal yang perlu dirisaukannya. Tapi bukan
berarti ia membiarkan dirinya lengah. Dalam keadaan tertidur sekalipun, ia bisa
mencium bau maut yang tengah mengintainya, dan ia selalu berhasil meloloskan
diri. Firasatnya memainkan peran yang sangat penting dalam masa-masa
pelariannya itu.
Bersama tiga pengikut
setianya, Haji Murad akhirnya berhasil mendatangi pihak Rusia. Mereka disambut
dengan suka-cita. Bagaimana tidak, musuh bebuyutan Rusia ini menyerahkan diri
secara suka rela dan, hal itu tak pernah terbayangkan dalam benak jenderal
Rusia manapun sebelumnya.
Tapi yang terjadi
kemudian justru hal yang tak pernah ia duga: Shamil menculik ibu, kedua istri,
dan anak-anaknya tak lama setelah ia menyerahkan diri pada pihak Rusia.
Sejak mengetahui
kejadian itu, Haji Murad cemas bukan kepalang meskipun hal tersebut hanya
nampak lewat pergulatan batinnya. Ia kemudian meminta pihak Rusia membantu
membebaskan keluarganya lewat proses pertukaran tawanan. Tapi hal tersebut
ditanggapi pihak Rusia seadanya. Berhari-hari Murad hanya menerima “angin surga”.
Terus-terusan digeluti kecemasan
seperti itu, Haji Murad kerap tercenung sendiri, hingga suatu ketika tergiang
olehnya “kisah Tavlin tentang seekor burang elang yang tertangkap, hidup
bersama manusia, lalu kembali ke gunung untuk hidup bersama kawannya. Dia
kembali, tapi mengenakan tali, dan di tali itu terdapat bel kecil”. (hal. 206).
Kelak, Haji Murad bersama
tiga pengikutnya itu membunuh tentara-tentara Cossack (tentara kekaisaran
Rusia) saat mereka melarikan diri. Tapi
akhirnya ia dan tiga murid-nya itu mati
terbunuh. Mereka melawan sekuat tenaga yang mereka punya sebelum ajal menjemput.
Kisah dalam novel Leo
Tolstoy yang berjudul Haji Murad ini
mengetengahkan persoalan yang begitu rumit. Pada awalnya, Haji Murad (sebelum
ia terbunuh saat melarikan diri dari pihak Rusia) ingin membalas dendam pada Shamil
dengan memilih untuk berada di pihak Rusia yang tengah gencar-gencarnya memerangi
Shamil dan kelompoknya. Tapi kemudian, Murad, yang sebelumnya adalah seorang
loyalis Tsar (Kaisar) Rusia, justru memerangi kekaisaran Rusia karena “musuhnya,
Akhmet Khan, yang ingin menghancurkannya, memfitnahnya di depan Jenderal
Klugeau”.
Haji Murad selamat dari
upaya pembunuhan yang direncanakan oleh Akhmet Khan (pimpinan kelompok militer
pribumi yang bekerja untuk pihak Rusia guna menumpas pemberontakkan yang
dipimpin Shamil) dengan melompat dari tebing. Ia lantas memerangi pihak
Rusia semata-mata karena didorong oleh keinginannya untuk membunuh Akhmet Khan.
Kegigihan dan keberaniannya berperang melawan Rusia lalu mendapat
pujian dari rakyatnya. Ia diagung-aguangkan. Hal inilah yang kemudian
dirisaukan oleh Shamil.
Dalam salah satu suratnya
untuk sang Jenderal Rusia, Klugeau, Murad menuliskan,“… ‘aku mengenakan serban
bukan untuk Shamil, tetapi untuk keselamatan jiwaku, bahwa aku tidak bisa dan
tidak akan bekerjasama dengan Shamil karena dialah yang menyebabkan ayah,
saudara, dan kerabatku terbunuh. Namun, aku pun tidak bisa datang ke pihak
Rusia karena mereka telah melecehkanku.’”
(hal. 120-121).
Yang menjadi pertanyaan
adalah, setelah “penaklukkan dan pendudukan” berlalu, bagaimanakah cara
“berdamai” dengan semua yang ditinggalkan olehnya.
Praktik kolonialisme di
wilayah manapun seakan menemukan satu benang merah: penggunaan satu kekuatan
“di dalam”, biasanya dari suatu kelas tertentu di dalam masyarakat— para
aristokrat—sebagai “rekan” atau “mitra” yang membantu berjalannya aktivitas di
daerah “pendudukan”. Tapi hal tersebut pun tak bisa dilihat secara hitam dan
putih, seperti kisah Haji Murad ini.
Teuku
Umar
KISAH
dan
sepak terjang Haji Murad ini mengingatkan saya pada petualangan Teuku Umar saat Belanda "masuk" ke Aceh.
Armada perang Negeri
Kincir Angin itu, seperti dicatat dalam berbagai teks sejarah, menginvasi Aceh
pada Maret 1873.
Teuku Umar, sebut Paul
Van’T Veer dalam bukunya Perang Aceh
Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, adalah pimpinan segerombolan pengacau di
Pantai Barat. Suatu ketika kapal uap Inggris, Nisero, dibajak di kawasan
kerajaan Teunom, di Pantai Barat.
Raja Teunom, Teuku Jit, “menuntut uang
tebusan 25.000 ringgit Spanyol dan jaminan bahwa blokade pantai kapal-kapal
perang Belanda dihapuskan”. (hal. 119).
Seiring bergulirnya waktu, upaya Belanda yang
mencoba menyelesaikan persoalan tersebut lewat aksi-aksi diplomatis dan represif mereka mengalami
kebuntuan. Sang raja Teunom pun semakin hari semakin menaikkan jumlah tebusan. Dalam masa-masa genting inilah kemudian pihak
Belanda meminta bantuan Teuku Umar dan komplotannya yang setahun sebelumnya telah
takluk.
Tapi, karena mendapat perlakuan yang tak mengenakkan di dalam kapal (saat
melakukan ekspedisi rahasia itu), Teuku Umar kemudian menghabisi tujuh orang
awak kapal dengan kelewangnya.
Drama penculikan awak kapal Nisero beberapa waktu
kemudian pun berakhir: Raja Teunom menyerahkan tawanan tatkala skuadron
Inggris-Belanda merapat ke bibir pantai wilayah kekuasaanya.
Teuku Umar sendiri berasal dari keturunan hulubalang
di pantai barat. Pada suatu ketika ia pun tewas di ujung senapan serdadu
Belanda setelah sebelumnya ia memutuskan berjuang bersama-sama rakyat melawan Belanda dengan
senapan, kelewang, siasat, dan tipu muslihat. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar