Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Kamis, 24 Maret 2016

BIRONG



Cerpen Firdaus Yusuf

Ilustrasi: Tauris Mustafa


DI SALAH satu stadiun sepakbola di Kota Sigli, pada suatu sore yang mendung, Birong, seorang polisi berwajah bengis yang beberapa tahun ke depan akan pensiun, mencoba mendiamkan caci-maki yang dialamatkan para penonton pada seorang pemain sepakbola berkaki pendek dan berambut cepak dari kesebelasan tuan rumah.

Kesebelasan mereka sendiri. Pemain sayap kiri itu sering dimaki penonton karena selalu salah memberi umpan.

“Ayam sayur sialan,” teriak seorang penonton. “Tempatmu bukan di sini, tapi di panti pijat!”

Birong mengira kemasyuran namanya, yang beberapa tahun silam mampu membuat pelayan di kedai minum yang disinggahinya enggan menerima uang usai ia minum kopi di sana, bisa menghentikan penonton mengucapkan kata-kata yang tak pantas itu.

Tapi ternyata, nama besarnya tidak berarti apapun di hadapan penonton yang marah dan kecewa. Ia berdiri berkacak pinggang dan menghadap ke arah tribun penonton. Ketika melihat wajah Birong, seorang pedagang ikan di Pasar Sigli bangkit dari tempat duduknya, menunjuk ke arah Birong berdiri seraya berseru, “Anjing hitam!” Mendengar kata-kata itu, Birong naik pitam.


Ia menatap wajah si pedagang ikan itu dengan ujung matanya. Teriakan “Anjing hitam” pun bergemeruh, bergema, dan menggantung di udara. Orang-orang di seluruh stadiun tahu, untuk siapa sebutan tercela itu ditujukan. Anjing hitam adalah nama ketiga (nama keduanya adalah Birong) pria berkulit gelap dengan mata cekung itu.

Nama aslinya Muhammad Rusli bin Muhammad Ben. Ia bangga dipanggil Birong. Tapi, tidak untuk “Anjing Hitam”.

Pada detik-detik itu, bola masih bergulir dari satu kaki pemain ke kaki pemain yang lain. Tak terima dipermalukan, Birong mencari-cari ajah orang yang pertama kali meneriakinya “Anjing Hitam”. Seperti seekor tupai yang melompat dari satu batang pohon sawo ke batang sawo lainnya, dengan cekatan, ia memanjat pagar, lalu melompat ke bawah dan menapaki tribun. Beberapa langkah lagi Birong akan sampai ke tempat duduk si pedagang ikan ketika sebuah pukulan yang dihujamkan oleh pria bertubuh tinggi besar, yang tadinya sempat menghalangi jalannya, mendarat di wajahnya dan membuatnya terjungkal ke bawah.
Beberapa saat kemudian, arus deras manusia menghimpitnya.

Letusan senjata membahana di udara. Pertandingan sepakbola sore itu dihentikan dan akan dilanjutkan pada minggu berikutnya. Sejak kejadian itu Birong sadar, kota itu bukan miliknya lagi.

Suara letusan senjata di stadiun yang kemudian membuat penonton lari tunggang-langgang, berdengung-dengung di telinganya dan terus berdegung walaupun ia telah terbaring di atas kasur kapuk di salah satu ruangan di rumah sakit bersama tiga pasien lainnya yang menderita hepatitis, diare, dan asma. Suara letusan itu membawanya pada harihari bertahun-tahun silam ketika ia begitu disegani, sekaligus dibenci oleh kota itu.

* * *
Pada tahun-tahun itu, Birong biasa duduk di kedai kopi di depan pos keamanan dari sore hingga pukul dua dini hari. Di luar kedai kopi suara nyalak senjata kerap terdengar laiknya petasan malam Lebaran. Begitu sebuah mobil Kijang hitam memasu ki halaman pos, Birong diikuti oleh beberapa anak buahnya juga akan memasuki pos. Saat pintu belakang mobil Kijang terbuka, Birong akan menyambar bahu salah seseorang yang tangannya terikat ke belakang dan matanya ditutup.

Dia akan memberi tawanan itu beberapa tendangan dan pukulan. Dalam keadaan seperti itu, ia kerap mendapat inspirasi mendadak.

“Pria terkutuk ini pantas mendapatkan siksa yang lebih berat daripada siksa di tempat ini,” Birong berkata pada para petugas, dengan suara yang dibuat-buat. Atau, pada waktu yang lain, dia akan menggunakan kata-kata yang agak diplomatis. “Kawan,” katanya. “Mengurusi sampah-sampah ini akan membuang terlalu banyak waktu kalian.” Hanya ada satu-dua orang yang mampu ia hajar di tempat itu. Selebihnya dia bawa ke dalam mobilnya.

Setiap orang yang dibawa masuk ke pos itu dengan tangan terikat dan mata tertutup, akan berakhir sebagai makanan tiga ekor anjing hitam di belakang pos tersebut. Sedangkan yang berhasil dibawa Birong dan anak buahnya, akan ia bebaskan dengan menuntut sedikit uang terima kasih. Tapi itu tentu saja, kalau mereka dari keluarga berada. Dan, bila mereka orang miskin, ia akan berujar seraya merogoh kantong celana jeans-nya, “Hei Bangsat, ini ada sedikit uang, buat berobat, beli tiket bus ke Medan, dan buat makan selama dua hari.” []
(Cerita ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu, 6 Maret 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar