Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Kamis, 01 Oktober 2015

Musmarwan Abdullah

Oleh Firdaus Yusuf

Ia yang mencari Pram dan menulis kisah-kisah yang tak muncul di suratkabar kala operasi militer di Aceh berlangsung hingga ke kampung-kampung.

SUATU hari di tahun 1980, ketika sedang berada di rumah salah seorang temannya, Musmarwan Abdullah menemukan sebuah tong berisikan buku-buku.  Buku-buku yang ada dalam tong itu tampak berdebu, tak terurus. Ia lantas meminta izin pada temannya untuk membawa pulang beberapa buku yang ada di dalam tong tersebut ke rumah yang, kemudian diiyakan oleh si teman.

“Saya menemukan buku-buku filsafat Jerman yang masih dalam ejaan yang belum disempurnakan,” kata dia, Selasa, 15 September, 2015.

Ternyata, ia juga menemukan tong-tong buku yang nyaris tak pernah lagi disentuh di rumah teman-temannya yang lain.

“Kakek-kakek teman saya itu umumnya pejabat di masa Orde Lama. Ada yang polisi, jaksa...,” kata dia. “Tapi,  kemudian saya heran, mengapa generasi ayah teman-teman saya tidak mempedulikan tong-tong tersebut. Tidak membaca buku-buku itu.”

Menurutnya, budaya membaca generasi Orde Lama lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Orde Baru. “Saya kira, buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa asing yang bagus pun lebih banyak diterbitkan di masa Orde Lama,” kata dia, dalam suara yang agak tertahan.

Malam itu, kami berbincang-bincang di Kedai Kopi Famili 100 Sigli, tempat di mana biasanya Musmarwan menghabiskan waktu senggang. Cara bertuturnya lirih tapi tegas.

Kami duduk menghadap jalan raya, di bawah pohon seri. Musmarwan, yang malam itu dalam setelan baju kaus rajut lengan panjang dan jins biru, bercerita tentang pengalaman membaca dan karir menulisnya. “Dulu, awalnya kan saya waktu kecil biasa baca cergam, cerita bergambar,” tutur Musmarwan. “Saya dan teman-teman saling mengumpulkan uang untuk membeli cergam.”

Pria bertubuh tinggi-besar itu berkisah, saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Beureunun, Pidie, Aceh, di penghujung tahun 1986, ia pergi ke salah satu toko buku yang ada di depan sekolahnya. Ketika tengah memilih buku untuk dibeli, ia menemukan sebuah buku yang ditaruh di rak depan. Judulnya: Bumi Manusia.

Ia penasaran dengan judul buku tersebut. Sepertinya, itu buku ilmu alam (Geografi), bumi, manusia, pikirnya.

Musmarwan lalu membeli buku itu. Sesampainya di rumah, ketika ia mulai membacanya, baru ia tahu kalau buku yang ia beli tersebut adalah sebuah novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan buku pelajaran sejenis Geografi.

 “Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”

Setelah menamatkan SMA, Musmarwan hijjrah ke Medan, Sumatera Utara. Ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi, Universitas Medan Area. Fakultas Psikologi tempatnya sempat tercatat sebagai mahasiswa, kata Musmarwan, adalah Fakultas Psikologi pertama di luar Pulau Jawa yang diizinkan oleh Orde Baru.

Dalam masa-masa tatlaka ia kuliah di Medan, pada suatu sore ia bersama teman-teman kuliahnya menyambangi sebuah toko buku yang ada di Medan Plaza.

“Bu, ada novel Anak Semua Bangsa?

Usai selesai membaca Bumi Manusia, Musmarwan tahu bahwa Anak Semua Bangsa adalah lanjutan dari Bumi Manusia.

Seorang perempuan paruh baya yang menjaga toko buku itu terperangah usai mendengar pertanyaan Musmarwan.

Ada jeda sesaat. Kemudian perempuan penjaga toko itu bertanya, “Kalian polisi?”

“Bukan, Bu,” jawab Musmarwan, heran, “kami mahasiswa Fakultas Psikologi.”

“Kok cari buku itu?”

Dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Musmarwan semakin merasa heran.

“Saya sudah baca novel sebelumnya, Bumi Manusia.”

 “Kalau ada, bagaimana?” tanya si perempuan penjaga toko buku, sinis.

“Ya..., kami mau beli, Bu.”

“Mau teken surat perjanjian, setelah Anda membeli buku itu, tidak akan ada masalah apa-apa dengan toko buku ini?”

Musmarwan mengangguk seraya berkata, “Mau, Bu.

Lalu, setelah si perempuan penjaga toko meminta Musmarwan dan teman-temannya untuk menunggu di satu sudut toko itu, ia menghilang sekitar setengah jam.

Ketika kembali, si perempuan penjaga toko buku itu membawa novel Anak Semua Bangsa yang sudah sangat lusuh.

"Tidak usahlah teken-teken segala. Kamu jamin, ya, tidak bermasalah nanti,” kata perempuan penjaga toko buku sambil menatap Musmarwan lekat-lekat.

Musmarwan membeli novel itu dengan harga yang terbilang mahal untuk harga sebuah buku saat itu: Rp 24 ribu. Sedangkan Bumi Manusia yang ia beli di toko buku di Beureunuen, Pidie, Aceh: Rp 7 ribu. Sejak saat itu, terbelesit dalam benaknya: apa yang salah dengan buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer?

Musmarwan hanya sempat kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Medan Area selama dua semester. Ayahnya, Abdullah, yang bekerja sebagai pedagang emas, setengah bangkrut saat itu.

Proses kuliah Musmarwan tidak mengalami masalah. Tapi, kata dia, dia merasa kasihan pada keadaan ekonomi keluarganya di kampung. Hal itulah yang kemudian membuat dia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, di pedalaman pesisir di Kabupaten Pidie, Kembang Tanjong.

Musmarwan lalu melanjutkan kuliahnya yang terputus ke Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan bahasa Inggris.

Suatu hari, ketika ia berada di jalan raya, dalam perjalanan ke kampus dengan sepeda motor RX King, ia terkena razia polisi lalu-lintas. Karena tidak memakai helm dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), ia ditilang dan STNK-nya ditahan polisi. Setelah memberikan surat tilang kepada Musmarwan, polisi yang menilang sepeda motornya itu berkata, “Ambil STNK nanti di pengadilan.”

Seminggu kemudian, Musmarwan mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Sigli.

“Kamu mahasiswa, kan?” tanya hakim.

“Iya, Pak.”

“Seharusnya kamu bisa beri contoh yang baik kepada masyarakat.”

Musmarwan hanya mengangguk.

STNK-nya diberikan kembali oleh hakim tersebut tanpa ada denda apa pun. Alasannya: Musmarwan adalah seorang mahasiswa. Saat keluar dari ruang sidang, Musmarwan terkejut ketika melihat sebuah pengumuman yang tertempel di dinding. Di sana ia membaca: Buku-Buku yang Dilarang. “Tetralogi Buru tertera di sana, lengkap dengan pasal dan sanksi,” kata Musmarwan. “Saat itu saya baru tahu kalau novel-novel itu dilarang.”

Sejak saat itu ia mengerti mengapa perempuan paruh baya di toko buku di Medan Plaza bertingkah aneh saat menjual novel Anak Semua Bangsa. “Nah, saya yakin, penjual buku atau pemilik toko buku tempat saya membeli novel Bumi Manusia, tidak tahu bahwa buku itu dilarang; atau ia tidak tahu, itu novel Bumi Manusia yang dilarang,” ungkap Musmarwan.

Ia semakin penasaran pada novel Tetralogi Buru selanjutnya. Suatu ketika, tak lama setelah sidang pengadilan selesai, Musmarwan ke Medan. Di sana, tepatnya di Titi Kuning Pasar Buku Loak, ia menemukan dan membeli novel Jejak Langkah setelah ia mencari novel itu dengan susah payah.

Empat semester kuliah di Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli, Musmarwan sekali lagi terpaksa berhenti kuliah karena ayahnya telah benar-benar bangkrut. Sepeda motornya pun dijual (kelak, pada 2003, ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli).

Sejak putus kuliah di Fakultas Seni dan Bahasa, dalam keadaan menganggur, Musmarwan mengisi waktu dengan membaca dan bekerja serabutan. Ia sesekali pergi ke Banda Aceh. Di ibu kota Provinsi Aceh itu, ia menyempatkan diri untuk pergi ke toko buku. Ia biasanya mengumpulkan uang terlebih dahulu sebelum pergi ke Banda Aceh untuk membeli buku. Waktu tempuh dari kampungnya, Kembang Tanjong ke Banda Aceh, sekitar dua jam berkendara.

Suatu hari, kepada penjaga toko buku Muhammadiyah Banda Aceh, Musmarwan bertanya, “Pak, ada novel Rumah Kaca?”

Si penjaga toko buku, yang juga pemilik toko tersebut, adalah seorang pria tua yang bertubuh gempal. Ia, yang sempat kaget dengan pertanyaan Musmarwan, bertanya,“Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, sudah kamu baca?”

“Sudah.”

Sejurus kemudian, penjaga toko buku itu menyalami Musmarwan. Menjabat tangannya begitu erat.

Pria itu bertanya pada Musmarwan tentang cerita-cerita tiga novel Pramoedya yang telah ia baca.

“Novel belum dia nampakkan,” kata Musmarwan, kembali terkekeh. “Dia juga bertanya di mana saya menemukan novel-novel sebelumnya.”

Setelah lama bercakap-cakap dengan Musmarwan, pria itu pergi ke belakang toko. Ia kembali menemui Musmarwan dengan membawa novel Rumah Kaca. Baru. Harganya, kata Musmarwan, standar dengan harga-harga buku saat itu.

Ketika Musmarwan ingin meninggalkan toko buku tersebut, pria tadi menyalaminya sekali lagi.

Bumi Manusia terbit pada 1980 dan kemudian Anak Semua Bangsa terbit 1981, Jejak Langkah terbit pada 1985, dan Rumah Kaca terbit pada 1988. Namun semuanya dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, karena novel-novel itu diklaim menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme.

Kelak, Musmarwan—yang bertahun-tahun silam adalah salah seorang langganan majalah Tempo dan Intisari—membaca berita tentang Pramoedya, terkait polemik penghargaan Ramon Magsaysay. 

19 Juli 1995 Yayasan Ramon Magsaysay di Filipina menganugerahkan Pramoedya Ananta Toer hadiah untuk pencapaian penulisan sastra dan jurnalistik. Namun sejumlah sastrawan—Taufik Ismail dan Mochtar Loebis adalah dua di antara sejumlah sastrawan lainnya—mengecam diberinya anugerah tersebut pada Pramoedya.

Pramoedya adalah penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah 1925. Penjara seperti rumah kedua baginya. Ia menghabiskan waktu tiga tahun dalam penjara Kolonial Hindia-Belanda; satu tahun  bawah rezim Orde Lama; dan 14 tahun dalam penjara di Buru, Kepulauan Maluku, tatkala rezim Orde Baru masih berkuasa. Tetralogi Buru ia tulis saat masih mendekam di dalam penjara di Pulau Buru. Namanya berkali-kali masuk daftar nominasi penerima Nobel Sastra.

Bagi Musmarwan, Pramoedya—lewat Tetralogi Buru—menitipkan sebuah pesan yang, setidak-tidaknya sangat berkesan bagi dirinya sendiri. Kakek satu cucu itu berkata, “Herman Mellema, yang mabuk-mabukkan, seperti yang disinggung Pram dalam Bumi Manusia, menyiratkan pesan penting bagi saya, untuk menjaga ‘kesehatan otak’. Sekokoh dan sebesar apapun tubuh seseorang, kalau kepalanya rusak, tidak ada gunanya.”

Hal itulah yang membuatnya tak pernah menghisap ganja meskipun tumbuh dan besar di tengah-tengah lingkungan dan teman-teman yang saban hari tak “kenal libur” melinting ganja kering yang dicampur dengan tembakau rokok. Ia takut sinting karena menghisap ganja.

KAMI berhenti bercakap sejenak. Di sekitar meja dan, di bawah kursi plastik hijau tempat kami duduk, puntung-puntung rokok berserakan. Satu di antara puntung-puntung rokok itu masih mengeluarkan asap ketika Musmarwan menyulut—untuk kesekian kali—sebatang rokok Dji Sam Soe. Sebuah kotak plastik putih sebesar buku saku dibiarkan tergeletak di atas meja tanpa disentuh. Rokok daun nipah beserta tembakau sehalus bulu-bulu hidung terlihat dari kotak tersebut.

Seorang pedagang asongan melintas dan Musmarwan menghentikan si pedagang itu. Ia membeli sirih. Di atas meja kami, dua cangkir kopi telah tandas. Sebentar kemudian Musmarwan memanggil pekerja di kedai kopi itu. Ia memesan telur setengah matang yang, sayangnya telah habis. Ia lantas memesan dua minuman ringan dan dua piring mie Aceh.

Di belakang tempat kami duduk, empat deret meja tampak begitu sesak dengan orang-orang yang tengah bermain catur.

MUSMARWAN ABDULLAH adalah seorang penulis cerita pendek. Pria kelahiran Kembang Tanjong, 31 Desember 1967 itu telah menerbitkan dua buku kumpulan cerpen: Pada Tikungan Berikutnya (2007) dan Rumah Baru (2013). Kedua buku tersebut diterbitkan Penerbit Lapena, Banda Aceh.

Karir menulisnya—khususnya cerita pendek—bermula setelah dia membaca cerpen-cerpen di “koran-koran togel” di kampungnya. Koran-koran tersebut adalah koran bekas dari Jakarta yang dibeli warga kampung dan pemilik kedai kopi karena ada kode-kode togel di koran-koran tersebut.

“Ada cerpen di sana,” kata ayah empat anak itu, “ceritanya pendek, saya terpikir: bagaimana ya, orang buat cerpen, saya bisa juga bikin cerita seperti ini.”

Saat itu, sekitar tahun 1987, Musmarwan mulai belajar cara menulis cerita. Salah satu suratkabar di mana ia mulai mengirimkan ceritanya: suratkabar Waspada, yang berkantor pusat di Medan, Sumatera Utara. Nama penanya: Mus Abdullah.

Saya bertanya bagaimana ia bisa pulang-pergi Kembang Tanjong-Banda Aceh saat konflik bersenjata.

Ia menjawab: “Saat itu, di tahun 80-an, konflik bersenjata, tidak separah tahun-tahun 90-an hingga awal 2000-an.”

Musmarwan mengenang, ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu rumah kosong di kampungnya yang ditempati tentara. Seminggu sekali tentara-tentara tersebut naik truk reo untuk menyisir kawasan pegunungan untuk mencari apa yang mereka sebut pemberontak.

“Kamu,” kata seorang tentara yang menunjuk ke arah Musmarwan, “nanti kami kasih kepala Daud Paneuk, ya.”

Pada dua teman Musmarwan yang lain, tentara itu berkata dengan bangga, “Kamu nanti kami kasih kepala Ilyas Leubeue, ya. Dan, kamu, kami kasih kepala Hasan Tiro, ya.”

Ketiga nama yang disebutkan tentara itu adalah pentolan-pentolan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) atau yang kelak dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hasan Tiro adalah sang deklaratornya, sedangkan Daud Paneuk dan Ilyas Leubeue adalah generasi GAM pertama yang juga pengikut Daud Beureueh, pimpinan DI/TII Aceh. GAM sendiri dideklarasikan pada Desember 1976.

Pada 1980-an awal, kata Musmarwan, tentara belum mengganggu masyarakat di kampung-kampung. Memasuki 1989, barulah tentara-tentara yang dikirim dari seluruh penjuru Indonesia mulai beringas di kampung-kampung.

“Keberadaan tentara saat diberlakukannya Darurat Operasi Militer, sudah mulai mengganggu,” ungkap Musmarwan.

Mulanya, Muswarwan menulis cerita-cerita remaja yang kemudian dimuat di suratkabar Waspada. Namun, ketika suratkabar Harian Serambi Indonesia terbit pada 9 Februari 1989, ia mengirim cerita-ceritanya ke media massa “anak dari Kompas Gramedia” itu.

“1991, saya melihat cerpen-cerpen di Serambi, cerita-ceritanya sangat serius.”

Maskribi, Hasyim KS, Ridwan Amran adalah tiga dari penulis yang karya-karya mereka ia baca di suratkabar Serambi Indonesia.

Ia lantas mengirim karyanya ke suratkabar tersebut. Awalnya, cerpennya ditolak. Ia mendapat surat penolakan. Naskah dan surat penolakan dimasukkan ke dalam amplop berkop Serambi Indonesia. Dan pada naskah itu, terdapat coretan-coretan yang berisikan catatan-catatan kekurangan naskah tersebut.

Setelah beberapa kali mengirimkan cerpen, akhirnya cerpennya yang berjudul Sang Induk Semang, dimuat di suratkabar tersebut. Cerpen itu berkisah tentang seorang mahasiswa, Agam, yang nyaris diusir oleh ibu kos. Laili, si ibu kos yang tempramen, meradang karena merasa dilecehkan karena disamakan dengan seorang gadis, Mira. Namun, pada akhir cerita, atas bujukan seorang teman, yang juga narator dalam cerita itu, Agam meminta maaf pada ibu kosnya itu. Ia dimaafkan dan tak jadi minggat dari tempat tersebut.

Cerpen itu adalah cerpen pertamanya di Serambi Indonesia.

Berkali-kali mengirim cerpen ke Serambi Indonesia, di antara sejumlah penolakan, ternyata beberapa karyanya berhasil lolos dan dimuat. “Selanjutnya, sudah bisa diterima tiap karya yang saya kirim,” katanya dengan senyum lebar.

Saat menulis dan mengirimkan cerpen ke Serambi Indonesia, ia menggunakan nama asli dan alamat asli.

“Berita tentang jalan rusak, WC umum rusak, dibicarakan di koran. Tapi tentang rumah dibakar, orang diculik, orang ditembak di jalan, kok tidak ada,” kata Musmarwan, yang kini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Kala diberlakukan Daerah Operasi Militer atau Operasi Jaring Merah 1-8 (1989-1998) di Aceh, pers diminta untuk mendukung operasi tersebut, dengan alasan, pers harus ikut membantu negara membasmi gerakan separatis. “Beberapa Danrem meminta suratkabar tidak berpihak pada GAM. Semua komponen yang ada di Aceh diminta memiliki satu sikap untuk mendukung operasi itu,” kata Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, di ruang kerjanya di Kantor Serambi Indonesia, Jl Raya Lambaro, Meunasah Mayang, Aceh Besar-Banda Aceh.

Ketika Orde Baru di bawah rezim Soeharto masih berkuasa, kata Yarmen, pihaknya tidak berani mengambil sikap berbeda.

Yarmen melanjutkan, meskipun tidak mendalam, kejadian-kejadian besar kala itu tetap diberitakan. “Tapi hanya berupa peristiwa, bukan laporan mendalam,” ujar Yarmen, yang saat itu menjabat sebagai Redaktur Kota dan Daerah.

Ia sendiri tetap mengumpulkan data-data dan informasi mengenai sejumlah tragedi terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kala itu meskipun tidak diterbitkan melalui Serambi Indonesia. Bersama Al Chaidar dan Sayed Mudhahar Ahmad, Yarmen membeberkan pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh kala DOM berlangsung lewat buku Aceh Bersimbah Darah.

Sejumlah tindak kekerasan terhadap wartawan Serambi Indonesia di daerah juga pernah terjadi akibat beberapa pemberitaan suratkabar tersebut, yang tidak disenangi pihak militer Indonesia saat itu.

Berangkat dari apa yang ia lihat di sekitar, Musmarwan kemudian mengangkat tema tentang konflik bersenjata antara GAM dengan Republik Indonesia (RI) yang berimbas pada warga di kampungnya dalam beberapa cerpennya.

Musmarwan pernah mengirimkan cerpennya ke salah satu suratkabar nasional. Dengan salah satu alasan bahwa cerpen tersebut mengangkat persoalan yang peka, cerpennya itu dikembalikan. Sejak saat itu, Musmarwan tak pernah lagi mengirim karya-karyanya ke surat-surat kabar nasional.

“Ya.., saya tulis dan kirimkan saja dulu karya-karya saya ke Serambi. Saya pikir, kalau Serambi juga tidak mau muat, berarti dia (Serambi) pun tidak mau bicara persoalan sendiri. Tak ada lagi yang bisa diharap.”

Ternyata, cerpen Musmarwan pertama yang mengangkat persoalan konflik bersenjata GAM-RI—Aku Ingin Tersenyum—dimuat. Ia senang bukan kepalang. Ceritanya tentang para tentara yang memeriksa rumah-rumah warga kampung di malam hari. Dalam cerpen tersebut, para tentara  melakukan operasi dengan didampingi kepala desa. “Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Mereka menggeledah sesuka hati tanpa sepengetahuan kepala desa. Cerita itu adalah upaya kecil, agar para tentara, atau komandannya, atau elite pengambil kebijakan di kota, mengubah prilaku anak-anak buah mereka yang semena-mena,” ujar Musmarwan.

Untuk seterusnya, cerpen-cerpennya yang bertema konflik dimuat dengan lempang di Serambi Indonesia.

Seorang teman menasihatinya agar tidak menulis nama asli dan alamat asli, atas pertimbangan keselamatan. Tapi, kata dia, tak ada ancaman sama sekali yang datang usai ia menulis cerita-cerita seperti itu.

Seiring berjalannya waktu, teman-temannya sesama penulis mengatakan padanya agar mengirim karya ke media nasional.

“Mus, cerita-ceritamu cocok ke Jakarta sana,” kata Musmarwan, menirukan ucapan salah seorang temannya saat itu, Mustafa Ismail.

“Orang-orang kampung tidak membaca koran nasional. Sementara, begitu mereka membaca Serambi, dengan cerpen yang berkisah tentang mereka sendiri, seperti ada semangat tersendiri pada mereka. Dulu kehidupan orang kampung hanya diolah dalam bentuk berita,” jawab Musmarwan, menanggapi ucapan Mustafa Ismail.

“Dari sisi gaya ungkap dan gagasan kritis, ia sangat konsisten. Cerpen-cerpennya sejak dulu hingga kini tetap kritis terhadap banyak persoalan dalam masyarakat,” tulis Mustafa Ismail, lewat pesan elektronik. “Soal tak mempublikasikan ke koran nasional, saya kira itu pilihan. Saya kira logisnya: kalau dimuat di media nasional, tidak banyak orang di Aceh yang membaca cerpen-cerpennya. Tapi kalau di koran lokal, terutama Serambi, tentu sangat banyak orang Aceh bisa membaca. Karena Serambi ada di tiap warung kopi.”

Mustafa Ismail kini tinggai di jakarta. Ia adalah penulis cerita pendek dan puisi. Ia juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Aceh Culture Centre (ACC).

Salah seorang pendiri  Lapena, Sulaiman Tripa, mengungkapkan, “Buku Musmarwan menarik karena penceritaannya yang sangat beritme, dan menghadirkan konflik yang sederhana tapi luar biasa.”

Buku kumpulan cerpen Musmarwan yang pertama, Pada Tikungan Berikutnya, sebut Sulaiman Tripa “lebih bagus penjualannya daripada buku kedua, karena mungkin kondisi perbukuan sedang lesu, seperti sekarang”.

Lapena tidak hanya menerbitkan buku-buku tapi juga—seperti yang disebutkan dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala itu—“ingin menghadirkan banyak lembaga kebudayaan di Aceh untuk terlibat dalam pelatihan tulis-menulis”.

Lapena didirikan pada 2005 silam.  Penggagasnya adalah Helmi Hass, D Kemalawati, Saiful Bahri, Harun Rasyid, Wina SW, dan Sulaiman Tripa.

SEBELUM kami meninggalkan kedai kopi Famili 100, saya bertanya pada Musmarwan: siapa penulis yang paling berpengaruh terhadap karya-karyanya?

 Ia menjawab seraya tersenyum, “Pram!” []


1 komentar: