Oleh Firdaus Yusuf
Ia yang mencari Pram dan menulis kisah-kisah yang tak muncul di
suratkabar kala operasi militer di Aceh berlangsung hingga ke kampung-kampung.
SUATU hari di tahun
1980, ketika sedang berada di rumah salah seorang temannya, Musmarwan Abdullah
menemukan sebuah tong berisikan buku-buku. Buku-buku yang ada dalam tong
itu tampak berdebu, tak terurus. Ia lantas meminta izin pada temannya untuk
membawa pulang beberapa buku yang ada di dalam tong tersebut ke rumah yang,
kemudian diiyakan oleh si teman.
“Saya menemukan buku-buku filsafat
Jerman yang masih dalam ejaan yang belum disempurnakan,” kata dia, Selasa, 15
September, 2015.
Ternyata, ia juga menemukan tong-tong
buku yang nyaris tak pernah lagi disentuh di rumah teman-temannya yang lain.
“Kakek-kakek teman saya itu umumnya
pejabat di masa Orde Lama. Ada yang polisi, jaksa...,” kata dia. “Tapi,
kemudian saya heran, mengapa generasi ayah teman-teman saya tidak mempedulikan
tong-tong tersebut. Tidak membaca buku-buku itu.”
Menurutnya, budaya membaca generasi
Orde Lama lebih tinggi dibandingkan dengan generasi Orde Baru. “Saya kira,
buku-buku terjemahan atau saduran dari bahasa asing yang bagus pun lebih banyak
diterbitkan di masa Orde Lama,” kata dia, dalam suara yang agak tertahan.
Malam itu, kami berbincang-bincang di
Kedai Kopi Famili 100 Sigli, tempat di mana biasanya Musmarwan menghabiskan
waktu senggang. Cara bertuturnya lirih tapi tegas.
Kami duduk menghadap jalan raya, di
bawah pohon seri. Musmarwan, yang malam itu dalam setelan baju kaus rajut lengan
panjang dan jins biru, bercerita tentang pengalaman membaca dan karir
menulisnya. “Dulu, awalnya kan saya waktu kecil biasa baca cergam, cerita
bergambar,” tutur Musmarwan. “Saya dan teman-teman saling mengumpulkan uang
untuk membeli cergam.”
Pria bertubuh tinggi-besar itu
berkisah, saat duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN)
Beureunun, Pidie, Aceh, di penghujung tahun 1986, ia pergi ke salah satu toko
buku yang ada di depan sekolahnya. Ketika tengah memilih buku untuk dibeli, ia
menemukan sebuah buku yang ditaruh di rak depan. Judulnya: Bumi Manusia.
Ia penasaran dengan judul buku
tersebut. Sepertinya, itu buku ilmu alam (Geografi), bumi, manusia, pikirnya.
Musmarwan lalu membeli buku itu.
Sesampainya di rumah, ketika ia mulai membacanya, baru ia tahu kalau buku yang
ia beli tersebut adalah sebuah novel sejarah karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan
buku pelajaran sejenis Geografi.
“Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”
“Saya suka ceritanya,” ungkap Musmarwan, terkekeh. “Saat itu saya pun belum begitu tahu siapa itu Pramoedya.”
Setelah menamatkan SMA, Musmarwan
hijjrah ke Medan, Sumatera Utara. Ia melanjutkan studi di Fakultas Psikologi,
Universitas Medan Area. Fakultas Psikologi tempatnya sempat tercatat sebagai
mahasiswa, kata Musmarwan, adalah Fakultas Psikologi pertama di luar Pulau Jawa
yang diizinkan oleh Orde Baru.
Dalam masa-masa tatlaka ia kuliah di Medan,
pada suatu sore ia bersama teman-teman kuliahnya menyambangi sebuah toko buku
yang ada di Medan Plaza.
“Bu, ada novel Anak Semua Bangsa?
Usai selesai membaca Bumi Manusia, Musmarwan tahu bahwa Anak Semua Bangsa adalah lanjutan dari Bumi Manusia.
Usai selesai membaca Bumi Manusia, Musmarwan tahu bahwa Anak Semua Bangsa adalah lanjutan dari Bumi Manusia.
Seorang perempuan paruh baya yang
menjaga toko buku itu terperangah usai mendengar pertanyaan Musmarwan.
Ada jeda sesaat. Kemudian perempuan
penjaga toko itu bertanya, “Kalian polisi?”
“Bukan, Bu,” jawab Musmarwan, heran,
“kami mahasiswa Fakultas Psikologi.”
“Kok cari buku itu?”
Dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti itu, Musmarwan semakin merasa heran.
“Saya sudah baca novel sebelumnya, Bumi Manusia.”
“Kalau ada, bagaimana?” tanya si perempuan penjaga
toko buku, sinis.
“Ya..., kami mau beli, Bu.”
“Mau teken surat perjanjian, setelah Anda membeli
buku itu, tidak akan ada masalah apa-apa dengan toko buku ini?”
Musmarwan mengangguk seraya berkata,
“Mau, Bu.”
Lalu, setelah si perempuan penjaga toko
meminta Musmarwan dan teman-temannya untuk menunggu di satu sudut toko itu, ia
menghilang sekitar setengah jam.
Ketika kembali, si perempuan penjaga
toko buku itu membawa novel Anak
Semua Bangsa yang sudah
sangat lusuh.
"Tidak usahlah teken-teken segala. Kamu
jamin, ya, tidak bermasalah nanti,” kata perempuan penjaga toko buku sambil
menatap Musmarwan lekat-lekat.
Musmarwan membeli novel itu dengan
harga yang terbilang mahal untuk harga sebuah buku saat itu: Rp 24 ribu.
Sedangkan Bumi Manusia yang ia beli di toko buku di
Beureunuen, Pidie, Aceh: Rp 7 ribu. Sejak saat itu, terbelesit dalam benaknya: apa
yang salah dengan buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer?
Musmarwan hanya sempat kuliah di
Fakultas Psikologi Universitas Medan Area selama dua semester. Ayahnya,
Abdullah, yang bekerja sebagai pedagang emas, setengah bangkrut saat itu.
Proses kuliah Musmarwan tidak mengalami
masalah. Tapi, kata dia, dia merasa kasihan pada keadaan ekonomi keluarganya di
kampung. Hal itulah yang kemudian membuat dia memutuskan untuk pulang ke
kampung halamannya, di pedalaman pesisir di Kabupaten Pidie, Kembang Tanjong.
Musmarwan lalu melanjutkan kuliahnya
yang terputus ke Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli, Fakultas Bahasa dan
Seni, Jurusan bahasa Inggris.
Suatu hari, ketika ia berada di jalan
raya, dalam perjalanan ke kampus dengan sepeda motor RX King, ia terkena razia
polisi lalu-lintas. Karena tidak memakai helm dan tidak memiliki Surat Izin
Mengemudi (SIM), ia ditilang dan STNK-nya ditahan polisi. Setelah
memberikan surat tilang kepada Musmarwan, polisi yang menilang sepeda motornya
itu berkata, “Ambil STNK nanti di pengadilan.”
Seminggu kemudian, Musmarwan mengikuti
sidang di Pengadilan Negeri Sigli.
“Kamu mahasiswa, kan?” tanya hakim.
“Iya, Pak.”
“Seharusnya kamu bisa beri contoh yang
baik kepada masyarakat.”
Musmarwan hanya mengangguk.
STNK-nya diberikan kembali oleh hakim
tersebut tanpa ada denda apa pun. Alasannya: Musmarwan adalah seorang
mahasiswa. Saat keluar dari ruang sidang, Musmarwan terkejut ketika melihat
sebuah pengumuman yang tertempel di dinding. Di sana ia membaca: Buku-Buku yang
Dilarang. “Tetralogi Buru tertera
di sana, lengkap dengan pasal dan sanksi,” kata Musmarwan. “Saat itu saya baru
tahu kalau novel-novel itu dilarang.”
Sejak saat itu ia mengerti mengapa
perempuan paruh baya di toko buku di Medan Plaza bertingkah aneh saat menjual
novel Anak Semua Bangsa.
“Nah, saya yakin, penjual buku atau pemilik toko buku tempat saya membeli novel Bumi Manusia, tidak tahu bahwa
buku itu dilarang; atau ia tidak tahu, itu novel Bumi Manusia yang dilarang,” ungkap Musmarwan.
Ia semakin penasaran pada novel Tetralogi Buru selanjutnya. Suatu ketika, tak lama setelah sidang pengadilan selesai, Musmarwan ke Medan.
Di sana, tepatnya di Titi Kuning Pasar Buku Loak, ia menemukan dan membeli
novel Jejak Langkah setelah ia mencari novel itu dengan
susah payah.
Empat semester kuliah di Universitas
Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli, Musmarwan sekali lagi terpaksa berhenti kuliah
karena ayahnya telah benar-benar bangkrut. Sepeda motornya pun dijual (kelak,
pada 2003, ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli).
Sejak putus kuliah di Fakultas Seni dan
Bahasa, dalam keadaan menganggur, Musmarwan mengisi waktu dengan membaca dan
bekerja serabutan. Ia sesekali pergi ke Banda Aceh. Di ibu kota Provinsi Aceh
itu, ia menyempatkan diri untuk pergi ke toko buku. Ia biasanya mengumpulkan
uang terlebih dahulu sebelum pergi ke Banda Aceh untuk membeli buku. Waktu
tempuh dari kampungnya, Kembang Tanjong ke Banda Aceh, sekitar dua jam
berkendara.
Suatu hari, kepada penjaga toko buku
Muhammadiyah Banda Aceh, Musmarwan bertanya, “Pak, ada novel Rumah Kaca?”
Si penjaga toko buku, yang juga pemilik
toko tersebut, adalah seorang pria tua yang bertubuh gempal. Ia, yang sempat
kaget dengan pertanyaan Musmarwan, bertanya,“Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, sudah kamu baca?”
“Sudah.”
Sejurus kemudian, penjaga toko buku itu
menyalami Musmarwan. Menjabat tangannya begitu erat.
Pria itu bertanya pada Musmarwan
tentang cerita-cerita tiga novel Pramoedya yang telah ia baca.
“Novel belum dia nampakkan,” kata
Musmarwan, kembali terkekeh. “Dia juga bertanya di mana saya menemukan
novel-novel sebelumnya.”
Setelah lama bercakap-cakap dengan
Musmarwan, pria itu pergi ke belakang toko. Ia kembali menemui Musmarwan dengan
membawa novel Rumah Kaca.
Baru. Harganya, kata Musmarwan, standar dengan harga-harga buku saat itu.
Ketika Musmarwan ingin meninggalkan
toko buku tersebut, pria tadi menyalaminya sekali lagi.
Bumi Manusia terbit pada 1980
dan kemudian Anak Semua Bangsa terbit 1981, Jejak Langkah terbit pada 1985, dan Rumah Kaca terbit pada 1988. Namun semuanya
dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada masa pemerintahan
Orde Baru, karena novel-novel itu diklaim menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme.
Kelak, Musmarwan—yang bertahun-tahun
silam adalah salah seorang langganan majalah Tempo dan Intisari—membaca
berita tentang Pramoedya, terkait polemik penghargaan Ramon Magsaysay.
19 Juli 1995 Yayasan Ramon Magsaysay di
Filipina menganugerahkan Pramoedya Ananta Toer hadiah untuk pencapaian
penulisan sastra dan jurnalistik. Namun sejumlah sastrawan—Taufik Ismail dan
Mochtar Loebis adalah dua di antara sejumlah sastrawan lainnya—mengecam diberinya
anugerah tersebut pada Pramoedya.
Pramoedya adalah penulis kelahiran
Blora, Jawa Tengah 1925. Penjara seperti rumah kedua baginya. Ia menghabiskan
waktu tiga tahun dalam penjara Kolonial Hindia-Belanda; satu tahun bawah
rezim Orde Lama; dan 14 tahun dalam penjara di Buru, Kepulauan Maluku, tatkala rezim Orde Baru masih berkuasa. Tetralogi Buru ia tulis saat masih mendekam di dalam
penjara di Pulau Buru. Namanya berkali-kali masuk daftar nominasi penerima
Nobel Sastra.
Bagi Musmarwan, Pramoedya—lewat Tetralogi Buru—menitipkan
sebuah pesan yang, setidak-tidaknya sangat berkesan bagi dirinya sendiri. Kakek
satu cucu itu berkata, “Herman Mellema, yang mabuk-mabukkan, seperti yang
disinggung Pram dalam Bumi
Manusia, menyiratkan pesan penting bagi saya, untuk menjaga ‘kesehatan
otak’. Sekokoh dan sebesar apapun tubuh seseorang, kalau kepalanya rusak, tidak
ada gunanya.”
Hal itulah yang membuatnya tak pernah
menghisap ganja meskipun tumbuh dan besar di tengah-tengah lingkungan dan
teman-teman yang saban hari tak “kenal libur” melinting ganja kering yang
dicampur dengan tembakau rokok. Ia takut sinting karena menghisap ganja.
KAMI berhenti bercakap
sejenak. Di sekitar meja dan, di bawah kursi plastik hijau tempat kami duduk,
puntung-puntung rokok berserakan. Satu di antara puntung-puntung rokok itu
masih mengeluarkan asap ketika Musmarwan menyulut—untuk kesekian kali—sebatang
rokok Dji Sam Soe. Sebuah
kotak plastik putih sebesar buku saku dibiarkan tergeletak di atas meja tanpa
disentuh. Rokok daun nipah beserta tembakau sehalus bulu-bulu hidung terlihat
dari kotak tersebut.
Seorang pedagang asongan melintas dan
Musmarwan menghentikan si pedagang itu. Ia membeli sirih. Di atas meja kami,
dua cangkir kopi telah tandas. Sebentar kemudian Musmarwan memanggil pekerja di
kedai kopi itu. Ia memesan telur setengah matang yang, sayangnya telah habis.
Ia lantas memesan dua minuman ringan dan dua piring mie Aceh.
Di belakang tempat kami duduk, empat
deret meja tampak begitu sesak dengan orang-orang yang tengah bermain catur.
MUSMARWAN ABDULLAH adalah seorang
penulis cerita pendek. Pria kelahiran Kembang Tanjong, 31 Desember 1967 itu
telah menerbitkan dua buku kumpulan cerpen: Pada
Tikungan Berikutnya (2007) dan Rumah Baru (2013). Kedua buku tersebut diterbitkan Penerbit Lapena, Banda Aceh.
Karir menulisnya—khususnya cerita
pendek—bermula setelah dia membaca cerpen-cerpen di “koran-koran togel” di
kampungnya. Koran-koran tersebut adalah koran bekas dari Jakarta yang dibeli
warga kampung dan pemilik kedai kopi karena ada kode-kode togel di koran-koran
tersebut.
“Ada cerpen di sana,” kata ayah empat
anak itu, “ceritanya pendek, saya terpikir: bagaimana ya, orang buat cerpen,
saya bisa juga bikin cerita seperti ini.”
Saat itu, sekitar tahun 1987, Musmarwan mulai belajar cara menulis cerita. Salah satu suratkabar di mana ia mulai
mengirimkan ceritanya: suratkabar Waspada, yang berkantor pusat di Medan,
Sumatera Utara. Nama penanya: Mus Abdullah.
Saya bertanya bagaimana ia bisa
pulang-pergi Kembang Tanjong-Banda Aceh saat konflik bersenjata.
Ia menjawab: “Saat itu, di tahun 80-an,
konflik bersenjata, tidak separah tahun-tahun 90-an hingga awal 2000-an.”
Musmarwan mengenang, ketika ia masih
duduk di bangku sekolah dasar, ada satu rumah kosong di kampungnya yang
ditempati tentara. Seminggu sekali tentara-tentara tersebut naik truk reo untuk
menyisir kawasan pegunungan untuk mencari apa yang mereka sebut pemberontak.
“Kamu,” kata seorang tentara yang
menunjuk ke arah Musmarwan, “nanti kami kasih kepala Daud Paneuk, ya.”
Pada dua teman Musmarwan yang lain,
tentara itu berkata dengan bangga, “Kamu nanti kami kasih kepala Ilyas Leubeue,
ya. Dan, kamu, kami kasih kepala Hasan Tiro, ya.”
Ketiga nama yang disebutkan tentara itu
adalah pentolan-pentolan Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) atau
yang kelak dikenal dengan sebutan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Hasan Tiro adalah
sang deklaratornya, sedangkan Daud Paneuk dan Ilyas Leubeue adalah generasi GAM
pertama yang juga pengikut Daud Beureueh, pimpinan DI/TII Aceh. GAM sendiri
dideklarasikan pada Desember 1976.
Pada 1980-an awal, kata Musmarwan,
tentara belum mengganggu masyarakat di kampung-kampung. Memasuki 1989,
barulah tentara-tentara yang dikirim dari seluruh penjuru Indonesia mulai
beringas di kampung-kampung.
“Keberadaan tentara saat
diberlakukannya Darurat Operasi Militer, sudah mulai mengganggu,” ungkap Musmarwan.
Mulanya, Muswarwan menulis
cerita-cerita remaja yang kemudian dimuat di suratkabar Waspada. Namun, ketika
suratkabar Harian Serambi
Indonesia terbit pada 9
Februari 1989, ia mengirim cerita-ceritanya ke media massa “anak dari Kompas Gramedia” itu.
“1991, saya melihat cerpen-cerpen di
Serambi, cerita-ceritanya sangat serius.”
Maskribi, Hasyim KS, Ridwan Amran adalah tiga dari penulis
yang karya-karya mereka ia baca di suratkabar Serambi
Indonesia.
Ia lantas mengirim karyanya ke
suratkabar tersebut. Awalnya, cerpennya ditolak. Ia mendapat surat penolakan.
Naskah dan surat penolakan dimasukkan ke dalam amplop berkop Serambi Indonesia. Dan pada naskah
itu, terdapat coretan-coretan yang berisikan catatan-catatan kekurangan naskah
tersebut.
Setelah beberapa kali mengirimkan
cerpen, akhirnya cerpennya yang berjudul Sang
Induk Semang, dimuat di suratkabar tersebut. Cerpen itu berkisah tentang
seorang mahasiswa, Agam, yang nyaris diusir oleh ibu kos. Laili, si ibu kos
yang tempramen, meradang karena merasa dilecehkan karena disamakan dengan
seorang gadis, Mira. Namun, pada akhir cerita, atas bujukan seorang teman, yang
juga narator dalam cerita itu, Agam meminta maaf pada ibu kosnya itu. Ia
dimaafkan dan tak jadi minggat dari tempat tersebut.
Cerpen itu adalah cerpen pertamanya di Serambi Indonesia.
Berkali-kali mengirim cerpen ke Serambi Indonesia, di antara
sejumlah penolakan, ternyata beberapa karyanya berhasil lolos dan dimuat.
“Selanjutnya, sudah bisa diterima tiap karya yang saya kirim,” katanya dengan
senyum lebar.
Saat menulis dan mengirimkan cerpen ke Serambi Indonesia, ia
menggunakan nama asli dan alamat asli.
“Berita tentang jalan rusak, WC umum
rusak, dibicarakan di koran. Tapi tentang rumah dibakar, orang diculik, orang
ditembak di jalan, kok tidak ada,” kata Musmarwan, yang kini bekerja sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Kala diberlakukan Daerah Operasi
Militer atau Operasi Jaring Merah 1-8 (1989-1998) di Aceh, pers diminta untuk mendukung
operasi tersebut, dengan alasan, pers harus ikut membantu negara membasmi
gerakan separatis. “Beberapa Danrem meminta suratkabar tidak berpihak pada GAM.
Semua komponen yang ada di Aceh diminta memiliki satu sikap untuk
mendukung operasi itu,” kata Yarmen Dinamika, Redaktur Pelaksana Serambi Indonesia, di ruang
kerjanya di Kantor Serambi
Indonesia, Jl Raya
Lambaro, Meunasah Mayang, Aceh Besar-Banda Aceh.
Ketika Orde Baru di bawah rezim Soeharto masih berkuasa, kata
Yarmen, pihaknya tidak berani mengambil sikap berbeda.
Yarmen melanjutkan, meskipun tidak
mendalam, kejadian-kejadian besar kala itu tetap diberitakan. “Tapi hanya
berupa peristiwa, bukan laporan mendalam,” ujar Yarmen, yang saat itu menjabat
sebagai Redaktur Kota dan Daerah.
Ia sendiri tetap mengumpulkan data-data dan informasi mengenai sejumlah tragedi terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kala itu meskipun tidak diterbitkan melalui Serambi Indonesia. Bersama Al Chaidar dan Sayed Mudhahar Ahmad, Yarmen membeberkan pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh kala DOM berlangsung lewat buku Aceh Bersimbah Darah.
Ia sendiri tetap mengumpulkan data-data dan informasi mengenai sejumlah tragedi terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kala itu meskipun tidak diterbitkan melalui Serambi Indonesia. Bersama Al Chaidar dan Sayed Mudhahar Ahmad, Yarmen membeberkan pelanggaran-pelanggaran HAM di Aceh kala DOM berlangsung lewat buku Aceh Bersimbah Darah.
Sejumlah tindak kekerasan terhadap
wartawan Serambi Indonesia di daerah juga pernah terjadi akibat beberapa pemberitaan suratkabar tersebut, yang tidak disenangi pihak militer Indonesia saat itu.
Berangkat dari apa yang ia lihat di
sekitar, Musmarwan kemudian mengangkat tema tentang konflik bersenjata antara
GAM dengan Republik Indonesia (RI) yang berimbas pada warga di kampungnya dalam
beberapa cerpennya.
Musmarwan pernah mengirimkan cerpennya
ke salah satu suratkabar nasional. Dengan salah satu alasan bahwa cerpen
tersebut mengangkat persoalan yang peka, cerpennya itu dikembalikan. Sejak saat itu, Musmarwan tak pernah
lagi mengirim karya-karyanya ke surat-surat kabar nasional.
“Ya.., saya tulis dan kirimkan saja
dulu karya-karya saya ke Serambi. Saya pikir, kalau Serambi juga
tidak mau muat, berarti dia (Serambi) pun tidak mau bicara persoalan
sendiri. Tak ada lagi yang bisa diharap.”
Ternyata, cerpen Musmarwan pertama yang
mengangkat persoalan konflik bersenjata GAM-RI—Aku Ingin Tersenyum—dimuat.
Ia senang bukan kepalang. Ceritanya tentang para tentara yang memeriksa rumah-rumah
warga kampung di malam hari. Dalam cerpen tersebut, para tentara
melakukan operasi dengan didampingi kepala desa. “Padahal pada kenyataannya
tidak seperti itu. Mereka menggeledah sesuka hati tanpa sepengetahuan kepala
desa. Cerita itu adalah upaya kecil, agar para tentara, atau komandannya, atau
elite pengambil kebijakan di kota, mengubah prilaku anak-anak buah mereka yang
semena-mena,” ujar Musmarwan.
Untuk seterusnya, cerpen-cerpennya yang
bertema konflik dimuat dengan lempang di Serambi
Indonesia.
Seorang teman menasihatinya agar tidak
menulis nama asli dan alamat asli, atas pertimbangan keselamatan. Tapi, kata
dia, tak ada ancaman sama sekali yang datang usai ia menulis cerita-cerita
seperti itu.
Seiring berjalannya waktu,
teman-temannya sesama penulis mengatakan padanya agar mengirim karya ke media
nasional.
“Mus, cerita-ceritamu cocok ke Jakarta
sana,” kata Musmarwan, menirukan ucapan salah seorang temannya saat itu, Mustafa Ismail.
“Orang-orang kampung tidak membaca
koran nasional. Sementara, begitu mereka membaca Serambi, dengan cerpen yang berkisah tentang
mereka sendiri, seperti ada semangat tersendiri pada mereka. Dulu kehidupan
orang kampung hanya diolah dalam bentuk berita,” jawab Musmarwan, menanggapi ucapan Mustafa Ismail.
“Dari sisi gaya ungkap dan gagasan
kritis, ia sangat konsisten. Cerpen-cerpennya sejak dulu hingga kini tetap
kritis terhadap banyak persoalan dalam masyarakat,” tulis Mustafa Ismail, lewat
pesan elektronik. “Soal tak
mempublikasikan ke koran nasional, saya kira itu pilihan. Saya kira logisnya:
kalau dimuat di media nasional, tidak banyak orang di Aceh yang membaca
cerpen-cerpennya. Tapi kalau di koran lokal, terutama Serambi, tentu sangat
banyak orang Aceh bisa membaca. Karena Serambi ada di tiap warung kopi.”
Mustafa Ismail kini tinggai di jakarta.
Ia adalah penulis cerita pendek dan puisi. Ia juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif
Aceh Culture Centre (ACC).
Salah seorang pendiri Lapena,
Sulaiman Tripa, mengungkapkan, “Buku Musmarwan menarik karena penceritaannya
yang sangat beritme, dan menghadirkan konflik yang sederhana tapi luar biasa.”
Buku kumpulan cerpen Musmarwan yang
pertama, Pada Tikungan
Berikutnya, sebut Sulaiman Tripa “lebih bagus penjualannya daripada buku
kedua, karena mungkin kondisi perbukuan sedang lesu, seperti sekarang”.
Lapena tidak hanya menerbitkan
buku-buku tapi juga—seperti yang disebutkan dosen Fakultas Hukum Universitas
Syiah Kuala itu—“ingin menghadirkan banyak lembaga kebudayaan di Aceh untuk
terlibat dalam pelatihan tulis-menulis”.
Lapena didirikan pada 2005 silam.
Penggagasnya adalah Helmi Hass, D Kemalawati, Saiful Bahri, Harun Rasyid, Wina
SW, dan Sulaiman Tripa.
SEBELUM kami meninggalkan
kedai kopi Famili 100, saya bertanya pada Musmarwan: siapa penulis yang paling
berpengaruh terhadap karya-karyanya?
Ia menjawab seraya tersenyum,
“Pram!” []
wah saya kenal dengan beliau :D
BalasHapus