Upaya dokumentasi langkah-langkah dalam hidup

Rabu, 17 Agustus 2016

Penjual Sawo dan Kelompok Akrobat



Cerpen Firdaus Yusuf

Mak Midah pernah berkata padaku, jika aku menelan biji sawo, maka biji tersebut akan tumbuh di dalam tubuhku. Akar-akarnya, awalnya, akan menjalar dari usus hingga ke anusku, lalu pelan-pelan, menjalar pula hingga ke tapak kakiku. Akar-akar tersebut sanggup menerobos lantai semen sekalipun. Hingga akhirnya, tatkala mereka menemukan permukaan tanah, lengan dan leherku akan menjadi batang pohon sawo, kata Mak Midah, menutup ceritanya.

Mak Midah adalah salah seorang penjual buah sawo di salah satu sudut emperan toko-toko di Pasar Sigli. Lapak tempat ia berjualan beralaskan tikar yang ia bawa sendiri. Mencoba menghindar dari sengatan matahari, ia taruh kain sarung, yang disangga empat pelepah meria, di atas tempat ia duduk. Di depannya, buah-buah sawo ia susun serupa bentuk piramida.

Ia kerap mengenakan kebaya motif bunga-bunga, kain sarung cokelat, dan selendang hitam. 

 “Jangan kau makan bijinya,” begitu ia biasa berkata usai menerima uang dariku. Pada deretan giginya yang kuning, ada bercak-bercak sirih yang telah lumat.

Saat aku berbalik badan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, Mak Midah biasanya akan memanggilku.

Gam,” teriaknya, “ini ada lebih untuk kau.”

Itulah saat-saat yang paling kubenci. Aku akan melangkah ke tempat ia duduk untuk sekedar mengambil dua buah sawo. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa tidak di saat menyerahkan sawo yang kubeli tadi, ia memberi dua sawo tersebut padaku.


***
Aku pulang-pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Letak sekolah tak terlalu jauh dari rumahku. Hanya sepuluh menit berjalan kaki. 

Pada hari Selasa, sebulan sekali, di dekat tempat pemotongan ayam, ada pertunjukkan akrobat. Kelompok akrobat itu akan menjual obat setelah penampilan mereka selesai. Tempat itu, hanya dua puluh langkah dari tempat Mak Midah berjualan.

Kebetulan, hari yang malang itu, adalah hari Selasa.

Para pemain akrobat itu berpakaian serba hitam. Kalau aku tak salah hitung, jumlah mereka ada tujuh orang. Ada seekor monyet yang mereka taruh rantai di lehernya, yang mereka bawa bersama mereka. Ada pula benda yang mirip dengan radio yang mereka taruh di dalam sebuah kotak, lengkap dengan mikrofon bertali hitam. 

Seorang pria paruh baya duduk bersimpuh di tanah. Ia mula-mula membuka pertunjukkan itu dengan mengucapkan salam, lalu dilanjutkan dengan salawat badar. Untuk menarik perhatian penonton, aku menyimpulkan sendiri, ia kemudian meniru suara-suara serigala, harimau, dan kokok ayam.

Saat mendengar suaranya, orang-orang akan datang, membentuk lingkaran. Tiga pria berpakaian hitam meletakkan keranda dengan lapik hijau berlafalkan bismillah di tengah-tengah para penonton yang mulai berkerumunan.
“Air sungai yang sedang mengalir akan berhenti saat mendengar ia bicara,” kata seorang penonton yang berdiri di dekatku. Saat itu, pria paruh baya yang duduk bersimpuh di tanah tengah bercerita tentang kisah Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih kepala anaknya, Nabi Ismail.

“Tapi,” sahut seorang lainnya, “ia itu penipu. Aku kenal dia. Bahkan tempat dia berak pun aku tahu di mana.”

Aku biasanya akan mencari-cari celah untuk melongokkan kepalaku, di antara himpitan lengan-lengan para penonton lainnya, ke arah si pria paruh baya yang duduk bersimpuh di tanah itu.

Beberapa saat kemudian, seorang pria berambut gondrong, masuk ke dalam keranda. Ia tidur di dalamnya untuk beberapa saat. Sementara itu, si pria paruh baya yang duduk bersimpuh di tanah, merapal doa-doa dan mantra-mantra yang sama sekali tidak kupahami.

Hari itu, tak seperti biasanya, sekelompok tentara yang membawa senjata laras panjang, juga ikut berdiri berhimpit-himpitan dengan penonton lainnya, untuk sekedar bisa menyaksikan pertunjukan tersebut.

Mantra-mantra dirapalkan dengan suara yang tinggi tatkala keranda mulai bergoyang-goyang, diikuti dengan suara-suara yang terdengar aneh dari dalam keranda.

Empat pria berpakaian serba hitam berjalan menuju ke arah keranda. Seorang dari mereka menggenggam rencong, yang pada gagangnya diikatkan kain putih.

Mereka berjongkok, mengelilingi keranda yang sudah bergoyang-goyang begitu hebat. Pria yang menggenggam rencong mengangkat benda itu ke udara. Hanya dia yang berdiri. Tatkala keranda diangkat, pria berambut gondrong bangkit begitu cepat. Ia meronta-ronta. Empat pria yang tadinya mengelilingi keranda mencoba menangkapnya. Tapi, dengan seluruh tenaganya, si pria berambut gondrong itu mampu membebaskan diri. 

Penonton, yang tadinya sempat terdiam, berteriak sambil lari kocar-kacir. Sejurus kemudian, empat pria tadi berhasil menangkap si pria berambut gondrong. Ia dibanting ke tanah. Tiba-tiba, rencong ditusukkan ke lehernya. Darah mengucur deras. Suara-suara aneh keluar dari mulut si pria berambut gondrong. Ia dibiarkan sendiri, terbaring di tanah.

Lalu, ia bangkit. Dengan langkah yang goyah, ia berjalan mengelilingi penonton.

Si pria paruh baya yang sedari tadi duduk bersimpuh di tanah, bangkit dan berjalan menghampiri si pria berambut gondrong. 

Saat ia menyentuh lengan si pria berambut gondrong, tubuh pria berambut gondrong itu menjadi lembek seperti agar-agar. Diberikannya air putih dan dicabutlah kemudian rencong dari leher pria berambut gondrong yang kembali rebah ke tanah. Luka dan darah pada lehernya tiba-tiba lenyap seketika saat si pria paruh baya mengusapkan lengannya ke leher si pria berambut gondrong.

Hening sebentar. Lalu, lima pria berpakaian serba hitam, berjalan mengelilingi penonton dengan menadahkan timba plastik. Aku lihat, hanya beberapa penonton yang melemparkan uang receh ke dalam timba-timba plastik yang mereka tadah.

Seorang pedagang ikan yang tengah mengayuh sepeda ontelnya, yang memiliki dua keranjang di belakang, menoleh ke arah tempatku berdiri.

Suara letusan terdengar. Kelak aku tahu, suara itu berasal dari ban sepeda si pedagang ikan yang meletus. Kala mendengar suara letusan itu, tentara-tentara yang berdiri di sana, mengokang senjata, lalu menembak secara membabi-buta. Ke segala arah.

Hari itu adalah hari terakhir aku menonton pertunjukkan akrobat. Juga hari terakhir aku melihat Mak Midah berjualan buah sawo. []

Firdaus Yusuf, alumnus Unigha Sigli. 
(Pernah dimuat di Serambi Indonesia)

1 komentar:

  1. Sebagai pengingat, bagi yang lupa, hidup di zaman konflik.

    BalasHapus