Cerpen Firdaus Yusuf
Mak
Midah pernah berkata padaku, jika aku menelan biji sawo, maka biji tersebut
akan tumbuh di dalam tubuhku. Akar-akarnya, awalnya, akan menjalar dari usus
hingga ke anusku, lalu pelan-pelan, menjalar pula hingga ke tapak kakiku.
Akar-akar tersebut sanggup menerobos lantai semen sekalipun. Hingga akhirnya,
tatkala mereka menemukan permukaan tanah, lengan dan leherku akan menjadi
batang pohon sawo, kata Mak Midah, menutup ceritanya.
Mak
Midah adalah salah seorang penjual buah sawo di salah satu sudut emperan toko-toko
di Pasar Sigli. Lapak tempat ia berjualan beralaskan tikar yang ia bawa sendiri.
Mencoba menghindar dari sengatan matahari, ia taruh kain sarung, yang disangga
empat pelepah meria, di atas tempat ia duduk. Di depannya, buah-buah sawo ia
susun serupa bentuk piramida.
Ia
kerap mengenakan kebaya motif bunga-bunga, kain sarung cokelat, dan selendang
hitam.
“Jangan kau makan bijinya,” begitu ia biasa
berkata usai menerima uang dariku. Pada deretan giginya yang kuning, ada
bercak-bercak sirih yang telah lumat.
Saat
aku berbalik badan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke rumah, Mak Midah
biasanya akan memanggilku.
“Gam,” teriaknya, “ini ada lebih untuk
kau.”
Itulah
saat-saat yang paling kubenci. Aku akan melangkah ke tempat ia duduk untuk
sekedar mengambil dua buah sawo. Sering aku bertanya dalam hati, mengapa tidak
di saat menyerahkan sawo yang kubeli tadi, ia memberi dua sawo tersebut padaku.
***
Aku
pulang-pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Letak sekolah tak terlalu jauh
dari rumahku. Hanya sepuluh menit berjalan kaki.
Pada
hari Selasa, sebulan sekali, di dekat tempat pemotongan ayam, ada pertunjukkan akrobat.
Kelompok akrobat itu akan menjual obat setelah penampilan mereka selesai. Tempat
itu, hanya dua puluh langkah dari tempat Mak Midah berjualan.
Kebetulan,
hari yang malang itu, adalah hari Selasa.
Para
pemain akrobat itu berpakaian serba hitam. Kalau aku tak salah hitung, jumlah
mereka ada tujuh orang. Ada seekor monyet yang mereka taruh rantai di lehernya,
yang mereka bawa bersama mereka. Ada pula benda yang mirip dengan radio yang
mereka taruh di dalam sebuah kotak, lengkap dengan mikrofon bertali hitam.
Seorang
pria paruh baya duduk bersimpuh di tanah. Ia mula-mula membuka pertunjukkan itu
dengan mengucapkan salam, lalu dilanjutkan dengan salawat badar. Untuk menarik
perhatian penonton, aku menyimpulkan sendiri, ia kemudian meniru suara-suara
serigala, harimau, dan kokok ayam.
Saat
mendengar suaranya, orang-orang akan datang, membentuk lingkaran. Tiga pria
berpakaian hitam meletakkan keranda dengan lapik hijau berlafalkan bismillah di
tengah-tengah para penonton yang mulai berkerumunan.
“Air
sungai yang sedang mengalir akan berhenti saat mendengar ia bicara,” kata
seorang penonton yang berdiri di dekatku. Saat itu, pria paruh baya yang duduk
bersimpuh di tanah tengah bercerita tentang kisah Nabi Ibrahim yang hendak
menyembelih kepala anaknya, Nabi Ismail.
“Tapi,”
sahut seorang lainnya, “ia itu penipu. Aku kenal dia. Bahkan tempat dia berak
pun aku tahu di mana.”
Aku
biasanya akan mencari-cari celah untuk melongokkan kepalaku, di antara himpitan
lengan-lengan para penonton lainnya, ke arah si pria paruh baya yang duduk
bersimpuh di tanah itu.
Beberapa
saat kemudian, seorang pria berambut gondrong, masuk ke dalam keranda. Ia tidur
di dalamnya untuk beberapa saat. Sementara itu, si pria paruh baya yang duduk
bersimpuh di tanah, merapal doa-doa dan mantra-mantra yang sama sekali tidak
kupahami.
Hari
itu, tak seperti biasanya, sekelompok tentara yang membawa senjata laras
panjang, juga ikut berdiri berhimpit-himpitan dengan penonton lainnya, untuk
sekedar bisa menyaksikan pertunjukan tersebut.
Mantra-mantra
dirapalkan dengan suara yang tinggi tatkala keranda mulai bergoyang-goyang, diikuti
dengan suara-suara yang terdengar aneh dari dalam keranda.
Empat
pria berpakaian serba hitam berjalan menuju ke arah keranda. Seorang dari
mereka menggenggam rencong, yang pada gagangnya diikatkan kain putih.
Mereka
berjongkok, mengelilingi keranda yang sudah bergoyang-goyang begitu hebat. Pria
yang menggenggam rencong mengangkat benda itu ke udara. Hanya dia yang berdiri.
Tatkala keranda diangkat, pria berambut gondrong bangkit begitu cepat. Ia
meronta-ronta. Empat pria yang tadinya mengelilingi keranda mencoba
menangkapnya. Tapi, dengan seluruh tenaganya, si pria berambut gondrong itu
mampu membebaskan diri.
Penonton,
yang tadinya sempat terdiam, berteriak sambil lari kocar-kacir. Sejurus
kemudian, empat pria tadi berhasil menangkap si pria berambut gondrong. Ia
dibanting ke tanah. Tiba-tiba, rencong ditusukkan ke lehernya. Darah mengucur
deras. Suara-suara aneh keluar dari mulut si pria berambut gondrong. Ia
dibiarkan sendiri, terbaring di tanah.
Lalu,
ia bangkit. Dengan langkah yang goyah, ia berjalan mengelilingi penonton.
Si
pria paruh baya yang sedari tadi duduk bersimpuh di tanah, bangkit dan berjalan
menghampiri si pria berambut gondrong.
Saat
ia menyentuh lengan si pria berambut gondrong, tubuh pria berambut gondrong itu
menjadi lembek seperti agar-agar. Diberikannya air putih dan dicabutlah
kemudian rencong dari leher pria berambut gondrong yang kembali rebah ke tanah.
Luka dan darah pada lehernya tiba-tiba lenyap seketika saat si pria paruh baya
mengusapkan lengannya ke leher si pria berambut gondrong.
Hening
sebentar. Lalu, lima pria berpakaian serba hitam, berjalan mengelilingi
penonton dengan menadahkan timba plastik. Aku lihat, hanya beberapa penonton
yang melemparkan uang receh ke dalam timba-timba plastik yang mereka tadah.
Seorang
pedagang ikan yang tengah mengayuh sepeda ontelnya, yang memiliki dua keranjang
di belakang, menoleh ke arah tempatku berdiri.
Suara
letusan terdengar. Kelak aku tahu, suara itu berasal dari ban sepeda si
pedagang ikan yang meletus. Kala mendengar suara letusan itu, tentara-tentara
yang berdiri di sana, mengokang senjata, lalu menembak secara membabi-buta. Ke
segala arah.
Hari
itu adalah hari terakhir aku menonton pertunjukkan akrobat. Juga hari terakhir
aku melihat Mak Midah berjualan buah sawo. []
Firdaus
Yusuf, alumnus Unigha Sigli.
(Pernah dimuat di Serambi Indonesia)
Sebagai pengingat, bagi yang lupa, hidup di zaman konflik.
BalasHapus